BIJAK DALAM BERMEDIA SOSIAL

medsos

            Pada masa kini, media sosial (medsos) telah menjadi media komunikasi global yang diikuti oleh semua kalangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Pelbagai kemudahan bermedia sosial melalui gawai (gadget) yang dimiliki hampir semua orang telah menjadikan media sosial sebagai media terpopuler dalam berkomunikasi. Sayangnya, ada orang yang tidak bijak dalam menggunakan media sosial ini, sehingga menimbulkan masalah yang amat besar.

            Dalam bentuknya yang paling sederhana, terdapat beberapa aspek penting agar sebuah komunikasi dapat berjalan dengan baik dan benar. Aspek-aspek komunikasi yang dimaksud adalah: pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), penerima pesan (receiver), konteks dimana komunikasi itu berlangsung (context), sarana yang digunakan (media), dan gangguan komunikasi atau “kebisingan” (noise).

            Berarti untuk bisa menjadi bijak dalam bermedia sosial, perlu memperhatikan aspek-aspek komunikasi di atas satu per satu.

            Pertama, pengirim (sender). Apabila kita menjadi pengirim pesan, maka yang pertama-tama  perlu kita lakukan adalah melihat terlebih dahulu motivasi dan tujuan kita berkomunikasi melalui media sosial. Motivasi yang paling benar adalah bahwa dalam melakukan segala sesuatu, sebagai orang Kristen, kita melakukannya dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Dengan pedoman ini, maka pesan berupa teks, gambar, video, yang kita kirimkan tetap akan memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi mereka yang menerimanya. Tujuannya adalah untuk menguatkan dan mempertumbuhkan iman kepada Tuhan, kesetiaan terhadap Tuhan dan pasangan/keluarga, kecintaan terhadap bangsa dan negara, serta kasih terhadap sesama. 

            Kedua, pesan (message). Pesan yang disampaikan bisa berasal dari diri kita sendiri, atau kita mengirimkan pesan yang telah dibuat oleh orang lain (forward atau sharing). Pesan tersebut pertama-tama harus diuji kebenarannya. Jika berupa informasi atau berita tentang terjadinya suatu peristiwa, perlu di-check dulu kapan itu terjadi. Misalnya: tsunami di Palu yang terjadi di tahun 2018 ditayangkan kembali oleh saluran televisi tertentu di Tahun 2019, guna mengetahui sejauh mana perkembangan pembangunan tempat pemukiman baru bagi warga yang terkena tsunami. Jika kemudian di-share di media sosial tanpa menyebutkan waktu terjadinya, bisa membuat si penerima terkejut, takut, panik, dan sebagainya.

            Pesan itu juga perlu di-check kebenarannya. Jika yang dikirimkan adalah berita, perlu diperiksa apakah hal yang diberitakan sungguh-sungguh terjadi ataukah berupa berita palsu (hoax). Apakah foto/video yang di-share benar-benar asli atau diedit dan direkayasa dengan maksud menipu atau tindak kejahatan lainnya. Jika tidak di-check lebih dulu bisa-bisa kita diduga atau disangka ikut menyebarkan berita palsu tersebut. Jangan mau menjadi anak-anak dari Iblis, si Pendusta sejak mulanya (Yohanes 8:44).

Jika itu adalah pengajaran seorang hamba Tuhan atau dari gereja tertentu, perlu di-check apakah pengajaran yang sehat dan benar atau penyesatan: misalnya tentang dogma iman Kristen, prinsip persembahan, tanda-tanda Akhir Zaman, isu tentang gereja/hamba Tuhan, dan sebagainya. Hal ini bisa ditanyakan lebih dahulu kepada hamba Tuhan di gereja kita (1 Timotius 4:6; 6:3-5).

            Ketiga, penerima (receiver). Kita pun harus memahami siapa yang akan menerima pesan yang kita kirimkan. Ada orang yang iman dan mentalnya kuat, sehingga saat menerima berita tentang virus corona baru (COVID-19), atau video tentang proses jalannya operasi bedah misalnya, bisa menerima dan memahami dengan baik, sehingga ia kemudian berdoa dan melakukan langkah-langkah pencegahan yang benar. Tetapi ada pula orang yang imannya belum kokoh dan mentalnya lemah, sehingga ia belum siap menerima pesan tersebut. Bukannya menolong dia untuk berwaspada, sebaliknya bisa membuat ia panik dan ketakutan luar biasa.

            Keempat, konteks (context). Untuk bermedia sosial dengan baik dan benar perlu juga melihat konteks dimana kita tinggal, yaitu di Indonesia. Konteks itu menyangkut budaya dan etika ketimuran. Berita atau informasi yang sama, dalam konteks Barat bisa diterima karena budaya kebebasan mereka, sedangkan dalam konteks budaya kita, hal itu belum bisa diterima, bahkan bisa dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU – ITE). Misalnya, mengkritisi kebijakan pemerintah di sebuah negara mungkin dipandang sah-sah saja, sedangkan di negara lain bisa dianggap pelanggaran hokum. Jadilah bijak dengan berpegang pada prinsip, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.  

            Kelima, sarana (media). Tidak ada yang salah dengan terjadinya perkembangan yang sangat pesat di bidang komunikasi digital, yaitu media sosial, karena sifatnya netral. Orang bisa bebas berkomunikasi dengan menggunakan Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, Tik-tok, Tumblr, LinkedIn, dan sebagainya, baik untuk mengekspresikan diri dengan mengirimkan foto/video dimana ia berada, atau mau mencari informasi dan belajar sesuatu (bahasa, pelajaran sekolah/ kampus, cara memasak, tips kesehatan, otomotif, dan sebagainya).

Bijak dalam menggunakan sarana atau media ini berarti waspada dari sisi keamanan agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain (data/foto pribadi, data kartu kredit, dan sebagainya). Bijak di sini bisa juga berarti menyesuaikan pesan dengan posisi dan keberadaan kita: apakah pesan itu akan membuat wibawa kita sebagai orang tua atau pemimpin di sebuah institusi, atau pengerja dalam pelayanan gerejawi, lalu menjadi merosot bahkan bisa menjadi batu sandungan.

            Keenam, gangguan (noise). Komunikasi apa pun dan dimana pun tidak akan lepas dari yang namanya gangguan. Gangguan itu bisa mengenai perangkat lunak (software), termasuk aplikasi yang digunakan, perangkat keras (hardware) pada gadget yang kita miliki, virus-virus computer yang bisa merusak data atau sistem, keisengan orang lain yang bersifat menganggu, atau gangguan dari pihak pesaing bisnis atau dari orang-orang yang sengaja memusuhi kita, dan sebagainya. Kehati-hatian dan kewaspadaan adalah satu-satunya cara yang bijak dan mengetahui bagaimna cara mengatasinya. Misalnya: saat kartu kredit kita digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, yang bisa menimbulkan kerugian besar bagi kita, harus dilaporkan ke pihak bank penerbit kartu kredit tersebut dan juga kepada pihak yang berwajib. 

            Dari penjelasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa selalu ada manfaat dan sekaligus kerugian yang bisa didapat dari penggunaan media sosial dalam berkomunikasi. Dibutuhkan sikap bijak dan kepekaan dalam tuntunan Tuhan agar komunikasi yang kita lakukan lewat media sosial benar-benar memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang.-

—– 00000 —–

pdt. dr. petrus f. setiadarma

Tinggalkan komentar