SLAMETAN KRISTIANI

salib

1. Pendahuluan

Sebagai bagian yang terpisahkan dari masyarakat di mana setiap orang Kristen tinggal, maka ia diperhadapkan dengan kebudayaan yang bisa sama sekali berbeda dengan apa yang diimani dalam Alkitab. Perjumpaan iman Kristiani dengan pelbagai budaya yang ada sebenarnya telah ada sejak dulu.

Karena kita tinggal di tengah-tengah masyarakat Jawa, maka dalam ceramah ini kita akan melihat sekilas tentang budaya Jawa, khususnya dalam apa yang disebut dengan “slametan”. Bagaimana sebaiknya sikap kita, dan haruskah ada yang namanya “Slametan Kristiani”.

2. Iman Kristiani dan Kebudayaan

Pada umumnya sikap umat Kristen dalam menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima macam, yaitu:

(1) Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil dan penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;

(2) Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada. Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam usaha untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);

(3) Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang menganggap bahwa ‘sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena kejatuhan dalam dosa’, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat anugerah ilahi;

(4) Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis. Pada satu pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;

(5) Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah ‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan kemanusiaan.’

Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan sikap ‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kol.2:8).

3. Slametan dalam Budaya Jawa

Dalam budaya Jawa dikenal adanya acara “slametan” dengan maksud mencari keselamatan untuk pelbagai aspek penting dalam kehidupan manusia, mulai dari dalam kandungan hingga wafatnya. Beberapa bentuk “slametan” tersebut antara lain:

3.1.Tingkeban atau Mitoni

Upacara “slametan” ini dilakukan ketika usia bayi dalam kandungan mencapai 7 (tujuh) bulan (terutama pada kehamilan pertama). Beberapa hal yang dilakukan secara simbolis adalah sebagai berikut.

(a) Menjatuhkan 2 (dua) butir cengkir gadhing dari arah perut ibu yang hamil itu, sehingga tampak seperti meluncur dari rahim. Sebutir bergambar Arjuna dan yang lain bergambar Sumbadra, isteri Arjuna. Simbol ini bermakna harapan agar bayi yang dilahirkan kelak berwajah tampan atau cantik. Cengkir mempunyai makna kencenging pikir (ketetapan hati), artinya diharapkan agar si ibu tetap teguh hatinya, percaya bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di samping itu diharapkan agar proses kelahiran bayi kelak berlangsung dengan mudah.

(b) Kelengkapan yang lain adalah dhawet plencing yang dijual (simbolis saja) oleh pasangan calon orang tua. Pembelinya adalah sanak-keluarga dan anak-anak. Uang yang digunakan adalah krèwèng (pecahan genting). Dhawet plencing ini juga menjadi simbol harapan agar kelak kelahiran bayi berjalan secara lancar, seperti sifat cèndhol yang licin dan gampang ditelan.

(c) Di samping pelaksanaan slametan, ibu hamil dan suaminya harus pula memenuhi berbagai macam pantangan, antara lain:

· Jangan duduk di ambang pintu – agar anak yang lahir kelak tidak bermulut lebar;

· Jangan duduk di atas lumpang (tempat menumbuk padi) atau duduk beralaskan alu (antan) – agar proses kelahiran kelak tidak disertai dengan buang air besar;

· Jangan duduk di atas tempurung, sabut kelapa, batu, atau sapu – agar kelahiran bayi tidak mengalami kesulitan.

(d) Namun ada pula hal-hal yang dianjurkan, seperti:

· Ibu hamil hendaknya sering makan daun-daun dhadhap srep, janti, atau daun maksor – agar kelak air susunya keluar secara lancar;

· Sebaiknya menggunakan layah (semacam piring terbuat dari tanah liat, kadang-kadang dipakai sebagai tempat melembutkan sambal) sebagai ajang (tempat makan) – agar tembuni bayi cukup besar dan mudah dilahirkan.

3.2.Slametan Brokohan

Upacara “slametan” ini dimaksudkan untuk menyambut kehadiran si bayi sebagai anggota masyarakat yang baru. Uba-rampé sesaji dalam upacara ini, amtara lain:

(a) Telur ayam mentah sejumlah neptu dina dari hari kelahiran bayi. Misalnya: bayi tersebut lahir pada hari Senèn Wagé, telur yang harus disediakan berjumlah 8 (delapan) butir (karena neptu dina hari Senèn adalah empat, dan pasaran Wagé juga empat, jumlahnya delapan).

(b) Disediakan juga gula jawa (gula kelapa), dhawet, tumpeng, daging kebo siji (daging yang terdiri atas campuran dari semua bagian tubuh hewan dan sebuah biji matanya), pecel ayam dan jangan menir i(sayur yang dibuat dari butiran-butiran beras yang lembut).

(c) Semua kelengkapan sesajèn disajikan dalam kenduri, yang terdiri dari:

· tumpeng sebanyak 3 (tiga) buah dengan urapan sayur-mayur dan telur rebus, yang merupakan persembahan dari ketig apihak: orangtua pihak isteri, orangtua pihak suami, dan orangtua si bayi

· jenang pepak atau jenang mancawarna,

· sega bathok bolu (nasi dalam tempurung kelapa) dipersembahkan kepada sedulur tunggal pratapan (saudara sepertapaan), yaitu kakang kawah (air ketuban yang dianggap sebagai kakak bagi si bayi) dan adhi ari-ari (plasenta atau tembuni yang dianggap adik bagi si bayi). Keduanya diyakini sebagai sing momong (pengasuh atau pendamping yang menjaga) si bayi.

Secara keseluruhan, maksud slametan tersebut adalah: agar sepanjang umurnya, anak tersebut memperoleh kemudahan dalam hidupnya, serba gangsar, mudah dalam mencari rejeki dengan pekerjaan apa pun, di mana pun dengan lingkungan macam apa pun, tahan dalam segala upaya, dan tidak mudah putus asa.

3.3.Slametan Gangsaring Sandang-Pangan

Supaya mudah mencari rejeki, jauh dari segala kesulitan, dan senantiasa mendapat kecukupan dalam hidup sehari-hari haruslah disediakan sesajèn ini: sesisir pisang, kembang borèh (racikan bunga-bunga tertentu), kinang (perlengkapan makan sirih), padupan (tempat membakar kemenyan), dan kendhi (tempat air minum dari tanah liat) yang penuh berisi air. Semua sesajèn ini harus disediakan setiap hari dan diletakkan di ruang patanèn (ruang tengah) atau dekat tempat tidur.

4. Pemaknaan Kristiani: Upaya Kontekstualisasi

Alkitab mengajarkan sebuah prinsip pelayanan yang kontekstual, yaitu pelayanan yang dilakukan sesuai dengan konteks masyarakat setempat. Dalam hal slametan, sebenarnya ada pemaknaan Kristiani di dalamnya, yaitu pada simbol-simbol yang digunakan. Jika kita bisa memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain, maka tidak mustahil bahwa kontekstualisasi ini bisa memenangkan mereka bagi Kristus.

Berikut ini adalah bebrapa contoh pemaknaan tersebut.

(a) “Hari Jumat adalah hari naas, terutama pada jam 12, karena itu saatnya Iblis bersorak-sorak” – bandingkan dengan karya penebusan Yesus Kristus di kayu Salib, di mana dari jam 12.00 sampai jam 15.00 matahari tidak bersinar, dan kemudian Yesus mati.

(b) Dalam setiap kenduri atau slametan, pertama-tama Tuan Rumah menyampaikan kepada modin mangapa ia mengadakan acara slametan tersebut, dan menyerahkan kepadanya untuk memimpin acara sakral itu. Lalu dikeluarkanlah sebuah tampah yang di atasnya ada sebuah kendil berisi air putih dan sesisir pisang raja – bandingkan dengan ucapan Yesus Kristus – Raja segala raja – bahwa Ia adalah Air Hidup.

(c) Lalu sang modin menyatakan maksud slametan itu diadakan kepada para tamu. Selanjutnya dikeluarkanlah tumpeng dengan nasi buceng (bejuju kenceng) – bandingkan dengan Bukit Golgota; di situ terdapat ayam jago muda lancur (ayam jago muda yang masih lajang di man ajalunya baru muncul , sang ayam dalam kondidi prima dan kuat-kuatnya) yang ditelikung (diikat tak berdaya) dan dibakar – bandingkan Yesus Kristus yang dalam usia 33.5 tahun telah menderita sengsara di Bukit Golgota itu.

(d) Sang modin pun berujar, “Barang siapa percaya kepada tumpeng dan ingkung ini, mak aia akan selamat” – bandingkan dengan Kisah 4:12 bahwa siapa yang percaya kepada Yesus Kristus ia akan selamat.

(e) Kemudian sang modin mencabik-cabik ayam itu dan membagikannya kepada para hadirin – bandingkan dengan perjamuan suci, di mana roti itu dipecah-pecahkan dan dibagikan kepada jemaat.

(f) Untuk acara mitoni, disediakan rujak 7 macam buah, cengkir, telur dipotong dibagi empat (membentuk tanda + sebagai simbol salib Kristus). Lalu daun nenas ditaruh di jenang pintu. Setiap hari sang ibu menorehkan enjet (kapur putih) berbentuk + di jenang pintu tersebut selama 40 hari, merupakan kalis ing sambi kala (lambang perlindungan oleh Salib Kristus atas sang bayi dari kuasa kegelapan). Jika si anak sakit, di telapak kaki sang bayi sang dukun bayi kembali akan menorehkan enjet berbentuk +, dan bayi itu pun sembuhlah.

(g) Untuk acara mantenan, rumah dihiasi janur kuning (lambang kemuliaan), dan sebuah batang pisang raja ditegakkan di pintu masuk (lambang Yesus Kristus sebagai pintu). Mempelai wanita harus sudah siap dan menunggu kedatangan mempelai laki-laki (bandingkan dengan kedatangan Yesus Kristus sebagai “Mempelai Laki-laki” yang dinantikan oleh semua orang percaya. Alangkah kecewanya Ia, jika “mempelai perempuan” itu tidak siap). Selanjutnya keduanya akan bertemu dan saling melemparkan godong suruh (su = indah, ruh = roh) berwarna merah – bandingkan dengan darah Kristus yang telah mempersatukan kita dengan Diri-Nya.

(h) Bunga setaman ditaruh di perempatan (lambang tanda +), bukan di pertigaan; bunga telon (kantil, kenanga, mawar) sering digunakan (lambang ketritunggalan).

(i) Saat membangun rumah, disediakan padi (= berkat), tebu (mateb lek wis mlebu), dan pisang raja (= Kristus, Sang Raja segala raja).

(j) Saat ngelmu (mencari kesaktian), di akhir pendidikan, sang guru akan berkata dan memberikan “jimat” yang bermakna agar jika ingin memperoleh ilmu sejati, sang murid mau menggali kebenaran Alkitab.

5. “Slametan” Kristiani

Setelah kita mencoba memahami budaya Jawa dengan kacamata pemaknaan iman Kristiani, selanjutnya kita akan mengajukan pertanyaan, “Bolehkah seorang Kristen melaksanakan slametan, yaitu slametan Kristiani?” Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut.

(a) Seseorang yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi merupakan ciptaan baru (2 Kor 5:17). Di dalam Kristus kita telah dimerdekakan (Gal 5:1). Itu berarti bahwa hal-hal yang lama yang dulu pernah dilakukan di luar Kristus, harus ditinggalkan. Kita tidak perlu lagi memperhambakan diri kepada roh-roh dunia yang “lemah” dan “miskin”, seperti memelihara hari-hari, slametan, dan sebagainya (Gal 4:9-11).

(b) Karena di dalam Yesus Kristus kita sudah memperoleh jaminan keselamatan (Yoh 3:16; Yoh 14:6; Kisah 16:31), padahal slametan dimaksudkan karena mereka mencari keselamatan, maka yang boleh dilakukan adalah pengucapan syukur (Yoh 12:1-2).

(c) Jika kita masih mengadakan slametan maka dikuatirkan akan terjadi sinkretisme yang bisa melemahkan dan menghancurkan iman kita sendiri, bahkan bisa menjadi batu sandungan bagi orang percaya lainnya.

(d) Mengadakan slametan dengan alasan ber-PI sulit diterima, mengingat masih ada banyak cara untuk memberitakan Kabar Baik. Prinsip “tujuan menghalalkan cara” tidak dapat dibenarkan oleh Alkitab. Baik tujuan maupun cara tetap harus sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

(e) Jika kita diundang ke acara slametan, kita tetap dapat menghadirinya dalam rangka toleransi dan kerukunan umat beragama. Makanan yang disajikan pun bisa kita nikmati, asalkan tidak menjadi batu sandungan (tentunya setelah kita mendoakannya dalam nama Tuhan Yesus Kristus – 1 Kor 8). Ada baiknya, jika kita mengadakan acara pengucapan syukur pun kita mengundang mereka, agar mereka dapat mendengar Kabar Baik itu.

6. Penutup

Tugas setiap orang percaya adalah sebagai Garam Dunia dan Terang Dunia. Dalam melakukan tugas yang berat itu, kita diminta untuk “cerdik seperti ular, dan tulus seperti merpati”.-

* ) Dari pelbagai sumber

Pdt. Drs. Petrus F. Setiadarma, MDiv.

Iklan

4 respons untuk ‘SLAMETAN KRISTIANI

  1. pak, kalo dilihat dalam Perjanjian Lama, bukankah dalam Alkitab juga dipakai banyak “sinkritisme”? dalam Perjanjian Baru, bukankah Yesus Kristus juga memakai budaya untuk mewartakan Injil kerajaan Allah? maka memakai sarana budaya untuk PI saya kira tidak salah dan tidak perlu dipersalahkan. manusia tidak bisa teralienasi dari budaya lho. Salametan sebagai perayaan keselamatan, apa salahnya? GBU

  2. Memang budaya harus tetap dihargai tetapi secara selektif, karena tidak semua unsur budaya sesuai dengan firman Tuhan. Yang sesuai dengan firman Tuhan, misalnya: “hormat orang tua” (Efs. 6:1-2) harus tetap dipertahankan; yang netral, misalnya: “model rumah, pakaian/busana” juga tetap bisa digunakan; tetapi yang bertentangan dengan firman Tuhan, misalnya yang berkaitan dengan tahyul, arwah, dsb. harus ditolak.

  3. Iman yang matang dan dewasa tidak perlu takut dan bimbang oleh simbol-simbol budaya. Enjoy aja! Lestarikan tradisi budaya warisan leluhur dan dengan iman yang teguh maknai kembali dalam nilai-nilai Kristus.

  4. Saya setuju sebaiknya tidak perlu di lakukan, karena saat murid” Yesus makan dengan tangan, orang2 yahudi di sekitar berkata mereka berdosa karena makan tanpa alat bantu. Tapi Yesus berkata budaya kamu lestarikan tapi aturan Tuhan tidak di indahkan..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s