
1. Penulis
Kitab 2 Tawarikh secara tradisional dianggap ditulis oleh Ezra, seorang imam dan ahli taurat, meskipun penulisnya tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks. Tradisi Yahudi dan Kristen awal menghubungkan Ezra sebagai penulis berdasarkan gaya penulisan, fokus pada sejarah keagamaan, dan kesamaan dengan Kitab Ezra dan Nehemia. Beberapa sarjana modern menduga bahwa penulisnya mungkin seorang tokoh lain dari kalangan imam atau Lewi (disebut sebagai “Penulis Tawarikh”), namun Ezra tetap menjadi kandidat utama berdasarkan konteks sejarah dan teologis.
2. Waktu Penulisan dan Tempat Penulisan
Kitab 2 Tawarikh diperkirakan ditulis sekitar abad ke-5 hingga ke-4 SM, kemungkinan antara 430-400 SM. Penulisan ini terjadi setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babel (setelah 538 SM, saat Koresh mengizinkan kepulangan). Bukti waktu penulisan dapat dilihat dari silsilah yang mencakup beberapa generasi setelah pembuangan (1 Tawarikh 3:17-24) dan fokus pada pembangunan kembali identitas keagamaan pasca-pembuangan.
Kitab ini kemungkinan besar ditulis di Yerusalem atau wilayah Yehuda, pusat keagamaan dan budaya bangsa Israel pasca-pembuangan. Konteksnya menunjukkan bahwa penulis berada di lingkungan komunitas Yahudi yang sedang memulihkan ibadah di Bait Allah kedua, yang dibangun kembali setelah kepulangan dari Babel.
3. Tujuan Penulisan
Kitab 2 Tawarikh, bersama dengan 1 Tawarikh, memiliki beberapa tujuan utama, yang berfokus pada perspektif teologis dan sejarah untuk memperkuat identitas rohani bangsa Israel pasca-pembuangan. Berikut adalah tujuan-tujuan utamanya:
- Menegaskan Identitas dan Warisan Israel:
- Kitab ini menelusuri sejarah Israel, khususnya kerajaan Yehuda, dari Salomo hingga pembuangan ke Babel. Tujuannya adalah untuk mengingatkan umat Allah tentang asal-usul mereka sebagai umat pilihan dan pentingnya perjanjian dengan Allah.
- Dengan menyoroti silsilah dan peran suku Lewi, kitab ini memperkuat identitas keagamaan dan peran imam serta Bait Allah dalam kehidupan umat.
2. Menekankan Pentingnya Ibadah yang Benar:
- 2 Tawarikh sangat menekankan pada ibadah di Bait Allah, reformasi keagamaan, dan ketaatan pada hukum Taurat. Penulis menyoroti raja-raja seperti Salomo, Hizkia, dan Yosia, yang mempromosikan ibadah yang benar, sebagai teladan bagi umat pasca-pembuangan.
- Tujuannya adalah mendorong komunitas pasca-pembuangan untuk memprioritaskan pembangunan kembali Bait Allah dan memurnikan ibadah mereka.
3. Memberikan Perspektif Teologis tentang Sejarah:
- Berbeda dengan Kitab 1-2 Raja-raja, yang lebih berfokus pada narasi politik, 2 Tawarikh menekankan hubungan sebab-akibat antara ketaatan kepada Allah dan berkat, serta ketidaktaatan dan hukuman. Misalnya, keberhasilan atau kegagalan raja-raja Yehuda dihubungkan dengan kesetiaan mereka kepada Allah.
- Tujuan ini adalah untuk mengajarkan bahwa ketaatan pada Allah membawa berkat, sementara dosa mengakibatkan penghakiman, sebagai pelajaran bagi generasi baru.
4. Menggugah Harapan dan Pemulihan:
- Kitab ini ditulis untuk komunitas yang baru kembali dari pembuangan, menghadapi tantangan dalam membangun kembali kehidupan mereka di Yehuda. Dengan mengingatkan mereka akan kebesaran masa lalu (misalnya, pemerintahan Salomo), penulis ingin menginspirasi harapan bahwa Allah masih dapat memulihkan umat-Nya jika mereka setia.
- Penutup kitab (2 Tawarikh 36:22-23) menyinggung dekret Koresh, yang memungkinkan kepulangan dan pembangunan kembali Bait Allah, sebagai tanda harapan akan pemulihan.
5. Menyoroti Peran Raja-raja dan Imam:
- Kitab ini menekankan pentingnya kepemimpinan yang saleh, baik dari raja-raja maupun imam-imam. Raja-raja seperti Hizkia dan Yosia dipuji karena reformasi mereka, sementara raja-raja yang tidak setia dikritik.
- Tujuannya adalah untuk mendorong pemimpin pada masa pasca-pembuangan untuk memimpin dengan integritas dan kesetiaan kepada Allah.
Kesimpulan
Kitab 2 Tawarikh, kemungkinan ditulis oleh Ezra sekitar 430-400 SM di Yerusalem, bertujuan untuk memperkuat identitas rohani bangsa Israel pasca-pembuangan. Dengan menekankan sejarah Yehuda, pentingnya ibadah yang benar, dan hubungan antara ketaatan dan berkat, kitab ini mengajak umat untuk memperbarui komitmen mereka kepada Allah, memulihkan Bait Allah, dan hidup sebagai umat perjanjian. Pesan ini relevan bagi komunitas yang sedang berjuang untuk membangun kembali kehidupan mereka di tengah tantangan pasca-pembuangan, memberikan harapan dan panduan untuk masa depan yang setia kepada Allah.
Gambaran Umum: Fokus pada Kerajaan Yehuda
Berbeda dengan 1 Raja-raja yang juga membahas kerajaan utara (Israel), 2 Tawarikh hampir secara eksklusif berfokus pada keturunan Daud di Yehuda. Ini bukanlah kecelakaan sejarah, tetapi pilihan teologis. Penulis ingin menelusuri garis keturunan Daud dan Temple (Bait Suci) sebagai dua pusat perjanjian Allah. Para raja dinilai berdasarkan kesetiaan mereka pada kedua hal ini.
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Kristen dari 2 Tawarikh
Berikut adalah prinsip-prinsip utama yang dapat diterapkan bagi seorang pemimpin Kristen masa kini, baik dalam gereja, keluarga, maupun masyarakat.
1. Kesuksesan Kepemimpinan Berawal dari Pencarian Allah
Ini adalah tema sentral dalam 2 Tawarikh. Seorang pemimpin tidak dinilai pertama-tama dari kebijaksanaan politik, kekuatan militer, atau kecerdasan strategisnya, tetapi dari kerendahan hatinya untuk mencari Tuhan.
- Raja Salomo (Pasal 1): Sebelum meminta kekayaan atau kejayaan, Salomo meminta hikmat dan pengenalan akan Allah (1:10). Karena prioritasnya benar, Allah memberikan juga apa yang tidak dimintanya—kekayaan dan kemuliaan.
- Raja Asa (Pasal 14-16): Pada awal pemerintahannya, Asa berhasil karena ia “melakukan apa yang baik dan yang benar di mata TUHAN, Allahnya” (14:1). Namun, di akhir hidupnya, ia mengandalkan sekutu manusia (Aram)而不是 Tuhan (16:7), dan dicela karena itu.
- Raja Yosafat (Pasal 17-20): Mottonya jelas: “Ia mencari Allah… dan hidup menurut perintah-perintah-Nya” (17:3-4). Ketika menghadapi invasi, respons pertamanya adalah memproklamasikan puasa dan mencari pertolongan Tuhan (20:3-4).
Aplikasi untuk Pemimpin Kristen: Seorang pemimpin Kristen harus memprioritaskan hubungan pribadinya dengan Tuhan di atas segala-galanya. Kesuksesan sejati adalah anugerah yang mengalir dari ketaatan dan ketergantungan pada Allah, bukan semata-mata dari usaha manusia.
2. Pemimpin adalah “Pembersih” dan “Pemugar”
Banyak raja yang dianggap “baik” dalam 2 Tawarikh adalah mereka yang membersihkan penyembahan berhala dan memugar Bait Allah serta ibadah yang sejati.
- Hizkia (Pasal 29-31): Tindakan pertamanya adalah membuka pintu-pintu Bait Suci dan memperbaikinya (29:3). Ia menyucikan Bait Allah, memulihkan ibadah, dan mengajak seluruh bangsa untuk merayakan Paskah—sebuah simbol pertobatan dan pembaruan kolektif.
- Yosia (Pasal 34-35): Setelah Kitab Taurat ditemukan, Yosia tidak hanya membersihkan negeri dari berhala, tetapi juga memimpin bangsa dalam perjanjian baru dengan Tuhan berdasarkan firman yang telah ditemukan kembali itu (34:29-31).
Aplikasi untuk Pemimpin Kristen: Seorang pemimpin dipanggil untuk menegakkan kebenaran dan kekudusan. Ini berarti berani mengidentifikasi dan “membersihkan” praktik-praktik, budaya, atau doktrin yang menyimpang dari Firman Tuhan dalam area tanggung jawabnya, serta aktif memulihkan ibadah, komunitas, dan pengajaran yang alkitabiah.
3. Ketaatan Membawa Berkat, Ketidaktaatan Membawa Kekacauan
2 Tawarikh secara konsisten menunjukkan hubungan sebab-akibat antara ketaatan pemimpin dengan keadaan bangsa.
- Berkat: Ketika raja taat, bangsa mengalami perdamaian, kemakmuran, dan kemenangan (misalnya, Salomo, Yosafat, Hizkia, Yosia).
- Kutukan: Ketika raja tidak taat (seperti Yoram, Ahas, Manasye untuk sebagian besar pemerintahannya), bangsa mengalami perang, kelaparan, dan kekalahan.
Penting untuk dicatat bahwa “berkat” di sini tidak selalu berarti kekayaan materiil tanpa penderitaan, tetapi lebih pada kehadiran, penyertaan, dan perkenan Allah. Kemenangan terbesar Yosafat datang bukan dengan pedang, tetapi dengan pujian penyembahan (20:21-22).
Aplikasi untuk Pemimpin Kristen: Seorang pemimpin harus menyadari bahwa keputusannya—apakah taat atau tidak—tidak hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga seluruh komunitas yang dipimpinnya. Tanggung jawab kepemimpinan adalah serius di hadapan Tuhan.
4. Kerendahan Hati dan Pertobatan adalah Kekuatan, Bukan Kelemahan
Allah memberikan ruang bagi pertobatan. Seorang pemimpin yang hebat bukanlah yang tidak pernah jatuh, tetapi yang merespons teguran dengan kerendahan hati.
- Manasye (Pasal 33): Dia adalah raja yang paling jahat, namun ketika ditawan dan merendahkan diri, Allah mengampuninya dan memulihkannya. Kisahnya adalah gambaran kasih karunia yang luar biasa.
- Yosafat (Pasal 19): Setelah ditegur nabi Yehu karena bersekutu dengan Ahab yang jahat, Yosafat tidak marah. Sebaliknya, ia kembali dan giat mengadakan pembaruan rohani dengan mengangkat hakim-hakim dan menegakkan keadilan.
Aplikasi untuk Pemimpin Kristen: Seorang pemimpin Kristen harus memiliki hati yang bisa diajar (teachable spirit). Ketika diingatkan, dikoreksi oleh Firman Tuhan, atau oleh rekan sepelayanan, responsnya haruslah pertobatan dan kerendahan hati, bukan defensif atau arogan.
5. Kepemimpinan yang Melayani Ibadah dan Komunitas
Bait Allah adalah jantung kehidupan nasional. Raja-raja yang baik adalah mereka yang memastikan ibadah berjalan dengan benar dan melayani kebutuhan komunitas (imam, orang Lewi, dan rakyat).
- Salomo membangun Bait Suci.
- Hizkia dan Yosia memulihkan perayaan Paskah, yang adalah momen penyatuan komunitas dalam ibadah.
- Yosafat mengirim para pemimpin dan orang Lewi untuk mengajar bangsa itu Firman Tuhan (Pasal 17).
Aplikasi untuk Pemimpin Kristen: Tujuan kepemimpinan Kristen adalah untuk membangun dan memperlengkapi tubuh Kristus (Efesus 4:11-12). Seorang pemimpin harus memfokuskan energinya untuk memajukan ibadah, pengajaran, dan pelayanan di dalam komunitasnya, bukan membangun kerajaannya sendiri.
Kesimpulan
Kitab 2 Tawarikh menawarkan Templet Teokratis untuk Kepemimpinan. Intinya adalah: Kepemimpinan yang berkenan di hati Allah adalah kepemimpinan yang berpusat pada Allah, bergantung pada Allah, dan taat kepada Firman-Nya.
Bagi pemimpin Kristen masa kini, pesannya sangat jelas:
- Carilah Tuhan terlebih dahulu dalam setiap keputusan dan rencana.
- Pimpinlah dengan Firman Tuhan sebagai otoritas tertinggi.
- Bersedialah untuk membersihkan dan memulihkan apa yang telah rusak.
- Pimpin dengan kerendahan hati dan terbuka terhadap koreksi.
- Ingatlah bahwa Anda memimpin umat milik Allah; kesetiaan Anda kepada-Nya akan membawa kehidupan atau kematian bagi komunitas yang Anda layani.
Dengan mempelajari kegagalan dan keberhasilan para raja dalam 2 Tawarikh, seorang pemimpin Kristen dapat menemukan hikmat yang abadi dan relevan untuk memimpin di zaman sekarang.