12. KITAB 2 RAJA-RAJA

1. Penulis
Kitab 2 Raja-raja tidak secara eksplisit menyebutkan nama penulisnya dalam teks. Namun, berdasarkan tradisi Yahudi dan Kristen, banyak sarjana Alkitab percaya bahwa kitab ini ditulis oleh seorang nabi atau sekelompok nabi, kemungkinan besar Yeremia atau seorang dari lingkaran kenabian yang terkait dengan tradisi Deuteronomistik. Tradisi ini mengaitkan penulisan Kitab Raja-raja (1 dan 2 Raja-raja sebagai satu kesatuan) dengan seseorang yang memiliki akses ke catatan sejarah, dokumen kerajaan, dan wawasan teologis yang mendalam. Penulisnya tampaknya mengumpulkan informasi dari sumber-sumber seperti “Kitab Sejarah Raja-raja Israel” dan “Kitab Sejarah Raja-raja Yehuda,” yang disebutkan dalam teks (misalnya, 2 Raja-raja 15:31, 21:17). Meskipun identitas pasti penulis tidak diketahui, gaya penulisan dan perspektif teologis menunjukkan seorang atau beberapa penulis yang terinspirasi oleh Roh Kudus untuk menyusun narasi ini.

2. Waktu dan Tempat Penulisan
Kitab 2 Raja-raja kemungkinan disusun dalam beberapa tahap, dengan penyusunan akhir terjadi sekitar abad ke-6 SM, selama atau setelah masa pembuangan ke Babel (sekitar 586–550 SM). Bukti internal menunjukkan bahwa penulis mengetahui kehancuran Yerusalem (2 Raja-raja 25) dan pembebasan Yoyakhin dari penjara di Babel pada sekitar tahun 561 SM (2 Raja-raja 25:27-30), yang menjadi titik akhir narasi. Oleh karena itu, penyusunan akhir kitab ini kemungkinan besar dilakukan selama periode pembuangan di Babel. Tempat penulisan kemungkinan besar adalah Babel, meskipun beberapa bagian awal mungkin telah ditulis di Yehuda sebelum kehancuran Yerusalem. Beberapa sarjana juga menduga adanya redaksi awal pada masa pemerintahan Raja Yosia (640–609 SM), karena penekanan pada reformasi agama Yosia (2 Raja-raja 22–23) mencerminkan perspektif Deuteronomistik yang kuat.

3. Tujuan Penulisan
Kitab 2 Raja-raja ditulis dengan beberapa tujuan teologis dan sejarah yang saling terkait, yang mencerminkan perspektif iman Israel terhadap kedaulatan Allah dan hubungan perjanjian-Nya dengan umat-Nya. Berikut adalah tujuan utama penulisan kitab ini:

  1. Mencatat Sejarah Israel dan Yehuda: Kitab ini melanjutkan narasi dari 1 Raja-raja, merekam sejarah monarki Israel (kerajaan utara) dan Yehuda (kerajaan selatan) dari masa pemerintahan Akazia (sekitar 853 SM) hingga kehancuran Yerusalem dan pembuangan ke Babel (586 SM). Ini berfungsi sebagai dokumentasi sejarah yang menunjukkan bagaimana tindakan raja-raja dan rakyat memengaruhi nasib bangsa.
  2. Menegaskan Kedaulatan Allah: Kitab 2 Raja-raja menekankan bahwa Allah adalah penguasa sejarah. Kehancuran Israel (722 SM) dan Yehuda (586 SM) digambarkan sebagai akibat dari ketidaktaatan terhadap perjanjian Allah, sebagaimana diperingatkan dalam Ulangan 28. Penulis menunjukkan bahwa Allah setia menjalankan penghakiman atas dosa, tetapi juga menunjukkan belas kasihan (misalnya, pembebasan Yoyakhin).
  3. Mendorong Kesetiaan pada Perjanjian: Kitab ini ditulis untuk mengingatkan umat Israel, khususnya mereka yang berada dalam pembuangan, tentang pentingnya kesetiaan kepada Allah dan hukum-Nya. Reformasi Yosia (2 Raja-raja 22–23) menjadi contoh positif tentang ketaatan, sementara dosa-dosa raja-raja lain (seperti Manasye) menunjukkan konsekuensi dari penyembahan berhala.
  4. Memberikan Harapan di Tengah Pembuangan: Meskipun kitab ini diakhiri dengan catatan tragis tentang kehancuran Yerusalem, pembebasan Yoyakhin (2 Raja-raja 25:27-30) memberikan secercah harapan bahwa Allah belum sepenuhnya meninggalkan umat-Nya. Ini menunjukkan bahwa garis keturunan Daud masih berlanjut, sesuai dengan janji Allah (2 Samuel 7:16).
  5. Mengajarkan Pelajaran Teologis: Kitab ini menyoroti peran nabi-nabi seperti Elia dan Elisa, yang berfungsi sebagai suara Allah untuk menegur, membimbing, dan melakukan mukjizat. Ini menegaskan bahwa Allah terus bekerja melalui hamba-hamba-Nya meskipun umat-Nya sering kali tidak setia.

Kesimpulan
Kitab 2 Raja-raja adalah karya teologis dan sejarah yang ditulis, kemungkinan besar oleh seorang nabi atau redaktur Deuteronomistik selama masa pembuangan di Babel, untuk menceritakan sejarah Israel dan Yehuda, menegaskan kedaulatan Allah, dan mendorong umat untuk kembali kepada-Nya. Dengan mencatat keberhasilan dan kegagalan para raja serta umat, kitab ini mengajarkan pentingnya kesetiaan pada perjanjian Allah sambil memberikan harapan akan pemulihan di tengah penghakiman. Bagi pemimpin Kristen, kitab ini relevan karena menekankan tanggung jawab untuk memimpin dengan ketaatan kepada Allah, menangani konflik dengan kebijaksanaan, dan mempercayakan hasil akhir kepada kedaulatan-Nya.


Tafsiran Prinsip Kepemimpinan Kristen dari 2 Raja-raja

Kitab 2 Raja-raja adalah kitab sejarah yang mencatat runtuhnya kerajaan Israel (Utara) dan Yehuda (Selatan). Kitab ini bukan sekadar catatan fakta, tetapi sebuah evaluasi teologis terhadap kepemimpinan para raja. Standar penilaiannya bukanlah kekayaan militer atau ekonomi, tetapi kesetiaan mereka kepada Perjanjian (Kovenan) Allah, khususnya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Ulangan. Raja dinilai berdasarkan apakah mereka melakukan “apa yang benar di mata TUHAN” atau “apa yang jahat di mata TUHAN”.

Dari sudut pandang Kristen, kisah-kisah ini menjadi “contoh” atau “peringatan” (1 Korintus 10:11) tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang abadi, yang kemudian mencapai penggenapannya dalam kepemimpinan Yesus Kristus.


Berikut adalah beberapa prinsip utama yang dapat diterapkan bagi kepemimpinan Kristen masa kini, baik dalam gereja, keluarga, maupun masyarakat.

1. Kepemimpinan yang Berdasarkan Ketaatan pada Firman Tuhan (Bukan Opini Pribadi)

Contoh: Raja Yosia (2 Raja-raja 22-23)

  • Kisahnya: Yosia menjadi raja pada usia muda. Ketika Kitab Taurat ditemukan kembali di Bait Suci, ia membacanya dan langsung menyadari bahwa bangsa itu telah menyimpang. Ia merobek pakainya sebagai tanda pertobatan dan memulai reformasi besar-besaran berdasarkan firman yang baru saja ditemukannya itu.
  • Prinsip Kepemimpinan Kristen:
    • Firman Tuhan sebagai otoritas tertinggi. Seorang pemimpin Kristen tidak memimpin berdasarkan visi pribadi, tren, atau keinginan populernya, tetapi berdasarkan kebenaran Allah yang tertulis. Seperti Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
    • Respons terhadap Firman adalah pertobatan dan ketaatan. Kepemimpinan sejati dimulai dari hati yang hancur dan taat ketika berhadapan dengan kebenaran Allah.

2. Bahaya Kompromi Spiritual dan Penyembahan yang Cacat

Contoh: Sebagian besar raja Israel (Utara) seperti Yerobeam, Ahab, dan raja-raja Yehuda seperti Ahas.

  • Kisahnya: Raja Yerobeam mendirikan dua anak lembu emas di Dan dan Betel untuk mencegah rakyatnya beribadah di Yerusalem (1 Raja-raja 12). Tindakan ini, yang disebut “dosa Yerobeam,” diikuti oleh hampir semua raja Israel. Mereka mencampuradukkan penyembahan kepada Tuhan dengan praktik penyembahan berhala Kanaan (Baal). Kompromi ini membawa kutuk dan kehancuran.
  • Prinsip Kepemimpinan Kristen:
    • Pemurnian penyembahan. Pemimpin bertanggung jawab untuk memastikan bahwa “ibadah” yang dipimpinnya murni dan berpusat pada Kristus, bukan pada campuran antara kebenaran dan duniawi (2 Korintus 11:3).
    • Tolak kompromi. Kompromi dalam hal-hal prinsip (doktrin, moral) akan mengikis fondasi spiritual dan membawa kehancuran jangka panjang. Pemimpin harus memiliki keberanian untuk menolak “jalan pintas” yang melanggar prinsip Allah.

3. Ketergantungan pada Allah, Bukan pada Kekuatan Manusia

Contoh: Raja Hizkia vs. Raja Ahas (2 Raja-raja 16, 18-19)

  • Kisahnya:
    • Ahas: Ketika diserang, ia lebih memilih bersekutu dengan Asyur (kekuatan duniawi) daripada mencari pertolongan Tuhan, bahkan meniru mezbah berhala dari Damsyik (2 Raja-raja 16).
    • Hizkia (anak Ahas): Ketika menghadapi ancaman yang lebih besar dari Asyur, ia berdoa, mencari nabi Yesaya, dan sepenuhnya bergantung pada Tuhan. Hasilnya, Tuhan membela umat-Nya dengan cara yang ajaib (2 Raja-raja 19:35).
  • Prinsip Kepemimpinan Kristen:
    • Doa dan iman sebagai strategi utama. Seorang pemimpin Kristen harus membawa setiap tantangan, ancaman, dan keputusan besar dalam doa. Ketergantungan pada jaringan, uang, atau strategi manusiawi saja adalah tanda ketidakpercayaan.
    • Allah adalah pembela umat-Nya. Pemimpin yang bijak tahu kapan harus “berjuang” dan kapan harus “berdiri diam dan melihat pertolongan TUHAN” (Keluaran 14:13).

4. Tanggung Jawab untuk Mempengaruhi, Bukan Hanya Memerintah

Contoh: Pengaruh Ratu Izebel atas Ahab dan Israel (1 Raja-raja 16, 21)

  • Kisahnya: Izebel bukanlah raja, tetapi pengaruhnya terhadap Raja Ahab sangat besar. Ia membawa penyembahan Baal secara masif dan menindas para nabi Tuhan. Pengaruhnya merusak tidak hanya raja, tetapi seluruh bangsa.
  • Prinsip Kepemimpinan Kristen:
    • Pengaruh lebih dari sekedar posisi. Setiap pemimpin, baik formal maupun informal, memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Pengaruh bisa membangun atau merusak.
    • Pertanggungjawaban atas pengaruh. Pemimpin Kristen harus menyadari bahwa ia bertanggung jawab kepada Tuhan atas pengaruh yang ia berikan kepada pengikut, keluarga, dan komunitasnya (Yakobus 3:1).

5. Konsekuensi dari Kepemimpinan yang Setia dan yang Memberontak

Kisahnya: Kitab 2 Raja-raja dengan jelas menunjukkan akhir dari setiap kepemimpinan.

  • Raja yang jahat seperti Ahab, Manasye, membawa penderitaan, pembuangan, dan kehancuran bagi bangsanya.
  • Raja yang setia seperti Hizkia, Yosia, membawa pembaruan, perlindungan, dan berkat Tuhan (meskipun kadang dampak kesetiaannya terbatas karena dosa generasi sebelumnya).
  • Prinsip Kepemimpinan Kristen:
    • Kepemimpinan memiliki konsekuensi kekal. Keputusan seorang pemimpin tidak hanya memengaruhi kehidupannya di dunia ini tetapi juga kehidupan orang yang dipimpinnya dan berdampak pada kekekalan.
    • Pemimpin akan memberi pertanggungjawaban kepada Tuhan. Prinsip ini menjadi motivasi yang sehat bagi seorang pemimpin untuk memimpin dengan takut akan Tuhan (Roma 14:12).

Kesimpulan: Kepemimpinan yang Diukur dengan Ketaatan pada Kovenan

Kitab 2 Raja-raja mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati adalah masalah ketaatan spiritual. Keberhasilan seorang pemimpin Kristen tidak diukur oleh ukuran gereja, popularitas, atau kekayaan, tetapi oleh kesetiaannya kepada Perjanjian Allah yang dinyatakan dalam Kristus.

Yesus adalah penggenapan dari semua yang diharapkan dari seorang raja dalam 2 Raja-raja:

  • Ia taat sempurna kepada Firman Bapa.
  • Ia memurnikan penyembahan dengan menjadi pengorbanan yang sempurna.
  • Ia bergantung sepenuhnya pada Bapa, bahkan sampai di kayu salib.
  • Pengaruh-Nya mengubah sejarah dan menyelamatkan umat manusia.
  • Kepemimpinan-Nya membawa hidup yang kekal, bukan kehancuran.

Oleh karena itu, bagi pemimpin Kristen masa kini, mempelajari 2 Raja-raja adalah sebuah panggilan untuk:

  1. Berkaca diri: Apakah saya memimpin seperti Yosia atau seperti Ahab?
  2. Bertobat: Jika ada kompromi, kembalilah kepada Firman Tuhan.
  3. Memimpin dengan rendah hati dan bergantung pada Tuhan, meneladani Kristus, Raja segala raja.

Dengan demikian, tafsiran kepemimpinan Kristen dari 2 Raja-raja pada akhirnya mengarahkan kita kepada Kristokrasi (pemerintahan Kristus), di mana kita memimpin sebagai hamba-hamba yang setia di bawah otoritas Sang Raja yang sejati.

KITAB 1 RAJA-RAJA

KITAB 1 TAWARIKH