64. SURAT 3 YOHANES

Surat 3 Yohanes adalah surat terpendek dalam Perjanjian Baru, namun penuh dengan wawasan pastoral tentang keramahan, kepemimpinan, dan konflik dalam gereja mula-mula. Berikut adalah ulasan mengenai penulis, waktu dan tempat penulisan, serta tujuan penulisan surat ini:

1. Penulis

    Surat ini ditulis oleh seseorang yang menyebut dirinya “Penatua” (3 Yohanes 1:1), sama seperti dalam 2 Yohanes. Tradisi gereja awal secara luas mengidentifikasi penulis sebagai Yohanes, rasul Yesus, yang juga dianggap sebagai penulis Injil Yohanes, 1 Yohanes, 2 Yohanes, dan Kitab Wahyu. Bukti yang mendukung kepenulisan Yohanes meliputi:

    1. Kesamaan Gaya dan Tema – Meskipun sangat singkat, 3 Yohanes memiliki kesamaan gaya dan kosa kata dengan 1 Yohanes dan 2 Yohanes, seperti penekanan pada “kebenaran” (3 Yohanes 1:3-4, 8, 12) dan kasih dalam konteks komunitas Kristen.
    2. Otoritas Apostolik – Penggunaan istilah “Penatua” (presbyteros) mencerminkan otoritas rohani Yohanes sebagai pemimpin gereja yang dihormati, yang konsisten dengan perannya di Efesus pada akhir abad pertama.
    3. Tradisi Gereja – Bapa gereja seperti Irenaeus, Klemens dari Aleksandria, dan Eusebius menghubungkan surat ini dengan Yohanes, mendukung bahwa ia adalah penulisnya.

    Kontroversi Kepenulisan: 

    Beberapa sarjana modern mempertanyakan apakah Yohanes, rasul Yesus, adalah penulisnya, dengan mengusulkan bahwa surat ini mungkin ditulis oleh anggota “komunitas Yohanes” atau seorang murid Yohanes. Namun, argumen ini kurang kuat karena kesamaan gaya dengan 1 dan 2 Yohanes serta tradisi gereja awal yang konsisten mendukung Yohanes sebagai penulis. Istilah “Penatua” kemungkinan mencerminkan peran pastoralnya di akhir hidupnya, bukan indikasi penulis yang berbeda.

    Kesimpulan Kepenulisan: Berdasarkan tradisi gereja, bukti internal, dan kesamaan dengan surat-surat Yohanes lainnya, Yohanes, rasul Yesus, kemungkinan besar adalah penulis 3 Yohanes.

    2. Waktu dan Tempat Penulisan

    Surat 3 Yohanes kemungkinan ditulis sekitar tahun 85-95 M, bersamaan atau sesudah 1 Yohanes dan 2 Yohanes. Alasan utama:

    1. Kesamaan dengan 2 Yohanes – Gaya, tema, dan struktur surat ini sangat mirip dengan 2 Yohanes, menunjukkan bahwa keduanya ditulis dalam periode waktu yang dekat.
    2. Konteks Gereja – Surat ini mencerminkan konteks gereja mula-mula yang sudah cukup terorganisir, dengan masalah kepemimpinan dan keramahan, yang konsisten dengan akhir abad pertama.
    3. Tidak ada peristiwa sejarah spesifik yang disebutkan, tetapi fokus pada dinamika komunitas dan otoritas gereja menunjukkan penulisan pada masa ketika Yohanes aktif sebagai pemimpin senior, kemungkinan setelah penulisan Injil Yohanes (sekitar 80-90 M).

    Surat ini tidak menyebutkan tempat penulisan secara eksplisit. Namun, tradisi gereja awal menyatakan bahwa Yohanes menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Efesus, sebuah pusat kekristenan di Asia Kecil (sekarang Turki). Oleh karena itu, Efesus adalah tempat penulisan yang paling mungkin, konsisten dengan penulisan 1 Yohanes dan 2 Yohanes. Tidak ada bukti kuat yang mendukung lokasi lain.

    3. Tujuan Penulisan Surat 3 Yohanes

    Surat 3 Yohanes ditujukan kepada Gayus, seorang anggota gereja yang kemungkinan besar adalah pemimpin atau tuan rumah gereja lokal, meskipun identitasnya tidak diketahui secara pasti. Surat ini bersifat pribadi namun memiliki implikasi untuk komunitas gereja. Tujuan penulisan surat ini dapat dirangkum sebagai berikut:

    1. Memuji Gaius atas Keramahan dan Kesetiaannya – Yohanes memuji Gayus karena berjalan dalam kebenaran dan menunjukkan keramahan kepada para utusan Injil, terutama kepada para misionaris keliling yang melayani gereja (3 Yohanes 1:3-8). Ia mendorong Gayus untuk terus mendukung pelayanan ini, yang dianggap sebagai kerja sama dalam kebenaran (3 Yohanes 1:8).
    2. Menegur Diotrefes atas Sikap Arogan dan Penolakannya terhadap Otoritas –   Yohanes menyinggung Diotrefes, seorang anggota gereja yang suka menonjolkan diri dan menolak otoritas Yohanes serta para utusan yang dikirimnya (3 Yohanes 1:9-10). Diotrefes bahkan mengusir anggota gereja yang menerima para utusan ini. Yohanes berencana untuk menangani masalah ini secara langsung (3 Yohanes 1:10), menunjukkan keprihatinan terhadap konflik kepemimpinan dalam gereja.
    3. Merekomendasikan Demetrius – Yohanes menyebut Demetrius sebagai seseorang yang mendapat pujian dari semua orang dan yang hidup dalam kebenaran (3 Yohanes 1:12). Kemungkinan besar, Demetrius adalah utusan atau pembawa surat ini, dan Yohanes merekomendasikannya agar diterima dengan baik oleh Gaius dan komunitasnya.
    4. Mendorong Kesetiaan kepada Kebenaran dan Kasih – Seperti dalam 1 dan 2 Yohanes, surat ini menekankan pentingnya hidup dalam kebenaran dan kasih. Yohanes menegaskan bahwa meneladani yang baik (seperti Gayus dan Demetrius) adalah tanda bahwa seseorang berasal dari Allah, sedangkan perilaku seperti Diotrefes mencerminkan sikap yang bertentangan dengan iman Kristen (3 Yohanes 1:11).
    5. Memperkuat Hubungan Pastoral – Yohanes menyatakan keinginannya untuk bertemu langsung dengan Gayus (3 Yohanes 1:13-14), menunjukkan hubungan pastoral yang erat dan keinginan untuk menyelesaikan masalah secara pribadi. Surat ini berfungsi sebagai dorongan sementara sambil menunggu kunjungan tersebut.

    Kesimpulan:

    Surat 3 Yohanes kemungkinan besar ditulis oleh Yohanes, rasul Yesus, sekitar tahun 85-95 M dari Efesus. Ditujukan kepada Gaius, surat ini bertujuan untuk memuji keramahan dan kesetiaannya, menegur Diotrefes atas sikap arogan dan penolakannya terhadap otoritas, merekomendasikan Demetrius, mendorong kesetiaan kepada kebenaran dan kasih, serta memperkuat hubungan pastoral dalam komunitas gereja. Meskipun singkat, surat ini relevan hingga kini sebagai pengingat akan pentingnya keramahan, kepemimpinan yang rendah hati, dan kesetiaan kepada kebenaran dalam kehidupan gereja.

    Prinsip-prinsip Kepemimpinan Rohani dalam Surat 3 Yohanes

    Surat 3 Yohanes, meskipun singkat, sangat kaya dengan prinsip-prinsip kepemimpinan rohani yang praktis dan kontekstual. Surat ini menampilkan tiga tokoh utama (Gayus, Diotrefes, dan Demetrius) yang mewakili karakter kepemimpinan yang berbeda. Berikut adalah prinsip-prinsip kepemimpinan rohani yang dapat ditarik dari 3 Yohanes:

    1. Prinsip Melayani dalam Kebenaran dan Kasih (Kepemimpinan seperti Gayus)

    Gayus adalah teladan seorang pemimpin yang efektif dan diberkati.

    • Kebenaran sebagai Fondasi (ayat 1, 3-4): Yohanes berkali-kali menyebut Gayus berjalan dalam “kebenaran” (ἀλήθεια, alētheia). Seorang pemimpin rohani harus mendasarkan hidup dan kepemimpinannya pada kebenaran Injil, bukan pada agenda pribadi. Integritas dan keselarasan antara perkataan, tindakan, dan doktrin adalah kunci.
    • Hospitalitas sebagai Ekspresi Pelayanan (ayat 5-8): Gayus aktif mendukung para pekerja rohani (misionaris/pengajar keliling) dengan menyediakan kebutuhan fisik dan logistik. Prinsipnya: kepemimpinan sejati melibatkan keramahan dan dukungan praktis. Ini adalah pelayanan “bagi mereka yang melayani” (ayat 8). Yohanes bahkan menyebutnya “rekan sekerja untuk kebenaran.”
    • Kesehatan Jiwa yang Mengalir ke Orang Lain (ayat 2): Yohanes mendoakan kesegaran jasmani Gayus yang sejalan dengan kesehatan jiwanya. Pemimpin rohani perlu menjaga kesehatan rohani dan emosionalnya sendiri agar bisa memberkati orang lain secara utuh (“sejahtera engkau secara jasmani, sama seperti jiwamu baik-baik saja”).

    2. Prinsip Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan (Peringatan dari Diotrefes)

    Diotrefes adalah contoh negatif, gambaran pemimpin yang korup.

    • Bahaya Cinta Kedudukan (ayat 9): Diotrefes “ingin menjadi yang terkemuka” (φιλοπρωτεύων, philoprōteuōn). Ini adalah keinginan untuk dominasi dan kontrol. Kepemimpinan rohani bukan tentang hierarki atau ambisi pribadi, melainkan tentang pelayanan dan pengorbanan.
    • Komunikasi yang Buruk dan Fitnah (ayat 10): Diotrefes menyebarkan fitnah (“membicarakan kita dengan kata-kata jahat”) dan menolak komunikasi dengan otoritas rasuli. Pemimpin rohani harus transparan, dapat diajak bertanggung jawab (akuntabel), dan menghindari gosip atau perkataan yang memecah-belah.
    • Eksklusivitas dan Kekejaman (ayat 10): Dia menolak menerima saudara-saudara seiman dan mengucilkan mereka yang ingin menerima. Ini adalah penyalahgunaan otoritas untuk menciptakan lingkaran dalam. Kepemimpinan rohani sejati bersifat inklusif, menguatkan, dan membangun komunitas, bukan menciptakan kultus individu.
    • Otoritas yang Dipertanyakan: Perilaku Diotrefes menunjukkan bahwa posisi formal (dia mungkin seorang penatua) tidak otomatis mencerminkan kepemimpinan rohani yang sejati.

    3. Prinsip Menjadi Teladan yang Teruji (Rujukan kepada Demetrius)

    • Reputasi yang Baik dari Semua Pihak (ayat 12): Demetrius “mendapat pujian dari semua orang dan dari kebenaran itu sendiri.” Reputasinya konsisten dan diakui baik oleh komunitas (“semua orang”) maupun oleh standar objektif (“kebenaran itu sendiri”). Seorang pemimpin rohani harus menjadi teladan yang hidup (1 Tim. 4:12).
    • Kesaksian yang Hidup: Kehidupannya sendiri adalah surat rekomendasi. Prinsipnya: kredibilitas kepemimpinan dibangun melalui kesaksian hidup yang konsisten dan dapat dipercaya dalam waktu yang lama.

    4. Prinsip Kepemimpinan sebagai Relasi dan Akuntabilitas

    • Gaya Bapa-Bermain (ayat 1, 4): Yohanes memanggil Gayus “anakku yang kekasih” dan berkata “tidak ada sukacitaku yang lebih besar daripada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” Ini mencerminkan kepemimpinan yang relasional, penuh kasih, dan berorientasi pada pertumbuhan (bukan sekadar administratif). Seorang pemimpin rohani bersukacita melihat orang yang dipimpinnya bertumbuh.
    • Konfrontasi yang Berani (ayat 9-10): Yohanes tidak diam melihat kesalahan Diotrefes. Dia berencana menegurnya secara langsung. Kepemimpinan rohani membutuhkan keberanian untuk menegur dan memperbaiki kesalahan, demi kesehatan komunitas.

    Kesimpulan: Model Kepemimpinan 3 Yohanes

    Surat ini mengajarkan bahwa kepemimpinan rohani yang alkitabiah adalah pelayanan yang berintegritas (kebenaran), penuh kasih dan dukungan praktis (seperti Gayus), serta menjadi teladan yang teruji (seperti Demetrius). Kepemimpinan ini harus secara aktif menolak godaan untuk menjadi otoriter, mencari nama, dan memecah-belah (seperti Diotrefes).

    Prinsip inti: Kepemimpinan rohani adalah tentang melayani kebenaran dengan kasih, dalam komunitas yang saling bertanggung jawab, demi kemajuan Injil dan kesejahteraan jemaat.

    SURAT 2 YOHANES

    SURAT YUDAS