52. SURAT 1 TESALONIKA

1. Penulis

    Surat 1 Tesalonika secara tradisional dan secara universal diakui ditulis oleh Rasul Paulus. Nama Paulus disebutkan secara eksplisit dalam salam pembuka surat (1 Tesalonika 1:1). Selain itu, surat ini juga menyebut Silwanus (Silas) dan Timotius sebagai rekan penulisnya.

    Peran Silas dan Timotius – Penyertaan nama mereka mencerminkan kerja tim dalam pelayanan Paulus. Namun, gaya bahasa, teologi, dan otoritas yang terlihat dalam surat ini sangat khas Paulus, sehingga para ahli sepakat bahwa ia adalah pengaruh utama dan penulis primer surat ini. Silas dan Timotius kemungkinan besar adalah rekan yang turut menyampaikan salam dan otoritas bersama.

    2. Tempat dan Waktu Penulisan

    Ditinjau dari bukti internal dalam surat dan kitab Kisah Para Rasul, konsensus mayoritas para ahli menyatakan bahwa Surat 1 Tesalonika adalah tulisan Paulus yang paling awal, dan dengan demikian merupakan dokumen tertua dalam Perjanjian Baru.

    Tempat Penulisan: Surat ini ditulis dari Korintus. Hal ini didasarkan pada:

      • Nama-nama Paulus, Silas, dan Timotius yang hadir bersama di Korintus (Kisah Para Rasul 18:1-5).
      • Dalam 1 Tesalonika 3:6, Paulus menyebutkan bahwa Timotius baru saja datang dari Tesalonika dan menemui Paulus di tempat ia berada saat itu (yang adalah Korintus).

      Waktu Penulisan: Ditulis sekitar tahun 50-51 Masehi.

      • Peristiwa pengusiran Paulus dari Tesalonika terjadi selama pemerintahan prokonsul Galio di Akhaya (KPR 18:12-17).
      • Sebuah prasasti yang ditemukan di Delphi menyebutkan nama Galio sebagai prokonsul pada tahun 51-52 M.
      • Berdasarkan perhitungan ini, kedatangan Paulus di Korintus dan penulisan surat ini diperkirakan terjadi pada akhir tahun 50 atau awal tahun 51 M.

      3. Tujuan Penulisan

      Paulus menulis surat ini sebagai tanggapan atas laporan yang dibawa oleh Timotius yang baru kembali dari Tesalonika (1 Tes 3:6). Tujuannya multidimensi:

      1. Menguatkan dan Menghibur Jemaat yang Baru Lahir: Jemaat Tesalonika adalah jemaat baru yang terdiri dari orang-orang percaya yang baru saja berpaling dari berhala (1 Tes 1:9). Mereka menghadapi penganiayaan dan tekanan yang berat dari masyarakat sekitar (1 Tes 2:14). Paulus menulis untuk menguatkan iman mereka dan menghibur mereka dalam penderitaan.
      • Mempertahankan Integritas Paulus dan Rekannya: Tampaknya ada serangan dari pihak-pihak tertentu yang mencoba mendiskreditkan Paulus dengan menuduhnya memiliki motif yang tidak tulus (seperti mencari uang atau pujian) dan kemudian menghilang begitu saja saat masalah datang (1 Tes 2:1-12). Paulus membela integritas dan motivasi pelayanannya.
      • Menjawab Pertanyaan tentang Akhir Zaman (Eskatologi): Ini adalah tujuan yang sangat menonjol. Jemaat khawatir tentang nasib rekan-rekan mereka yang telah meninggal sebelum kedatangan Kristus yang kedua kali (*Parousia*). Mereka bertanya-tanya apakah orang yang sudah meninggal akan ikut dalam kerajaan Allah. Paulus menulis untuk menjelaskan hal ini dan memberikan pengharapan (1 Tes 4:13-18).
      • Memberikan Nasihat Praktis tentang Kekudusan Hidup: Sebagai jemaat yang baru bertobat dari latar belakang penyembahan berhala, mereka perlu bimbingan untuk hidup kudus, khususnya dalam hal moral seksual (1 Tes 4:3-8) dan kehidupan sosial (1 Tes 4:9-12).
      • Menyampaikan Sukacita dan Rasa Syukur: Inti dari surat ini adalah sukacita Paulus yang meluap atas keteguhan iman jemaat Tesalonika meskipun dianiaya. Surat ini dipenuhi dengan ungkapan syukur (1 Tes 1:2-3; 2:13; 3:9).

      Prinsip-prinsip Kepemimpinan Rohani dalam Surat 1 Tesalonika

      • Prinsip Kuasa

      Prinsip Kuasa (Bases of Power) yang dikembangkan oleh French dan Raven (1959) adalah kerangka teoretis yang sangat relevan untuk menganalisis pengaruh Rasul Paulus dalam Surat 1 Tesalonika.French dan Raven mengidentifikasi lima jenis dasar kuasa yang dimiliki seorang pemimpin:

      1. Kuasa Koersif (Coercive Power) Berdasarkan pada ketakutan. Pengikut patuh karena takut akan hukuman atau konsekuensi negatif.
      2. Kuasa Imbalan (Reward Power)Berdasarkan pada kemampuan memberikan imbalan atau hal yang diinginkan.
      3. Kuasa Sah (Legitimate Power) Berdasarkan pada persepsi bahwa seseorang memiliki *hak* yang sah (karena posisi atau peran) untuk mempengaruhi, dan kewajiban orang lain untuk mematuhi.
      4. Kuasa Ahli (Expert Power)Berdasarkan pada persepsi bahwa seseorang memiliki pengetahuan, keahlian, atau pengalaman khusus.
      5. Kuasa Rujukan (Referent Power)Berdasarkan pada identifikasi, kekaguman, dan kesetiaan pengikut terhadap pemimpin. Pengikut ingin menyenangkan pemimpin karena mereka mengidolakannya.

      Kaitan Prinsip Kuasa French-Raven dengan Pengaruh Rasul Paulus dalam 1 Tesalonika. Paulus tidak menggunakan pendekatan yang koersif atau manipulatif. Sebaliknya, pengaruhnya justru sangat efektif karena dibangun di atas fondasi kuasa yang lunak (soft power)—khususnya Kuasa Rujukan (Referent), Kuasa Ahli (Expert), dan Kuasa Sah (Legitimate) yang diperoleh, bukan dituntut. Berikut adalah kaitan dan buktinya dari teks surat:

      1. Kuasa Rujukan (Referent Power) – Yang Paling Dominan. Ini adalah sumber pengaruh utama Paulus. Jemaat di Tesalonika mematuhi dan mengikuti ajarannya bukan karena takut, tetapi karena mereka mengasihi, mengagumi, dan mengidentifikasi diri mereka dengan Paulus.
      1. 1 Tesalonika 1:6 – Jemaat Tesalonika disebut telah menjadi “peniru” (mimetai) dari Paulus dan Tuhan. Ini menunjukkan tingkat identifikasi yang sangat tinggi. Mereka ingin menjadi seperti dia.
        • 1 Tesalonika 2:7-8 – Paulus menggambarkan dirinya bukan sebagai diktator, tetapi sebagai seorang ibu yang lembut dan mengasuh anak-anaknya.  
        • 1 Tesalonika 2:11-12 – Dia juga menggambarkan dirinya sebagai seorang bapa yang menasihati anak-anaknya.

      Pengaruh melalui kasih dan hubungan personal ini jauh lebih kuat dan langgeng daripada pengaruh melalui paksaan.

      • Kuasa Ahli (Expert Power) – Paulus memiliki kredibilitas karena pengetahuannya yang mendalam tentang Kitab Suci Yahudi (Perjanjian Lama) dan pengalamannya yang langsung berjumpa dengan Kristus. Ia adalah seorang “ahli” dalam hal yang ia sampaikan.
      1. Salam Pembuka (1 Tes. 1:1) – Surat dibuka dengan klaim otoritas: “Dari Paulus, Silwanus, dan Timotius kepada jemaat orang-orang Tesalonika…”. Ia tidak meminta izin; ia menyatakan posisinya.
        • Pemberitaan Injil (Kerygma) – Selama tiga minggu di sinagoge, Paulus “berargumentasi” dengan mereka dari Kitab Suci (KPR 17:2-3). Ini menunjukkan ia menggunakan keahliannya dalam tafsir Kitab Suci untuk meyakinkan pendengarnya.
        • Penjelasan Doktrin – Dalam suratnya, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis jemaat, khususnya tentang kedatangan Tuhan Yesus kedua kali (parousia) dan keadaan orang percaya yang telah meninggal (1 Tes. 4:13-18). Di sini, ia berfungsi sebagai pemegang kuasa ahli yang memberikan penjelasan otoritatif.
      • Kuasa Sah (Legitimate Power) – Kuasa ini tidak berasal dari jabatan resmi, tetapi dari pengakuan jemaat bahwa Paulus adalah seorang Rasul—seorang yang diutus oleh Kristus sendiri. Otoritasnya adalah otoritas yang diberikan oleh Allah.

      Panggilan Ilahi – Seluruh pelayanannya didasarkan pada panggilan langsung dari Yesus Kristus di jalan ke Damsyik (KPR 9). Jemaat menerima otoritas ini karena mereka percaya pada kebenaran panggilannya.

      • Kuasa Imbalan (Reward Power) – Paulus tidak menjanjikan imbalan materi, tetapi imbalan spiritual dan eskatologis. Ketaatan kepada ajarannya dikaitkan dengan berkat dan upah dari Allah, bukan dari dirinya sendiri.
      1. Pujian dan Pengakuan – Dia memuji mereka (1 Tes. 1:7-9) karena telah menjadi teladan bagi semua orang percaya di Makedonia dan Akhaya. Pujian dari seorang figur yang memiliki Kuasa Rujukan yang kuat adalah sebuah “imbalan” sosial yang sangat berarti.
        • Pengharapan akan Kedatangan Kristus: Seluruh surat, terutama pasal 4 dan 5, diwarnai dengan imbalan utama: penyelamatan dan persekutuan abadi dengan Kristus pada waktu kedatangan-Nya. “Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.” (1 Tes. 4:17b).
      • Kuasa Koersif (Coercive Power) – Yang Paling Minim. Paulus hampir tidak menggunakan kuasa koersif. Ketika ia menegur, itu dilakukan dengan lembut dan didasari oleh kekhawatiran, bukan ancaman.
      1. Ancaman bersifat Ilahi, bukan Personal – Konsekuensi negatif yang disebutkan selalu berasal dari penghakiman Allah (misalnya, murka Allah atas penyembah berhala, 1 Tes. 1:10), bukan dari hukuman yang akan Paulus jatuhkan sendiri. Ini sangat berbeda dengan menggunakan kuasa koersif personal.
        • Teguran Lembut – Misalnya, dalam menangani masalah orang yang tidak mau bekerja (1 Tes. 4:11-12 dan 2 Tes. 3:10-12), nasihatnya lebih berupa anjuran untuk hidup tenang dan tidak menjadi beban bagi orang lain, bukan ancaman hukuman langsung darinya.

      Kesimpulan

      Pengaruh Rasul Paulus terhadap jemaat di Tesalonika adalah contoh sempurna dari kepemimpinan yang efektif dan transformasional yang dibangun bukan di atas paksaan (hard power), tetapi di atas kelembutan, keahlian, dan hubungan yang tulus (soft power).

      French dan Raven membantu kita melihat bahwa:

      1. Kuasa Rujukan (Referent Power) adalah fondasi utama hubungan Paulus dengan jemaat. Mereka taat karena mereka mencintainya.
        1. Kuasa Ahli (Expert Power) dan Kuasa Sah (Legitimate Power) memberikan kredibilitas dan otoritas pada pesannya.
        1. Kuasa Imbalan (Reward Power) yang dijanjikan bersifat spiritual dan menguatkan pengharapan mereka.
        1. Kuasa Koersif (Coercive Power) hampir tidak digunakan, menunjukkan bahwa pengaruh sejati tidak memerlukan ancaman.

      Dengan demikian, Surat 1 Tesalonika bukan hanya dokumen teologis, tetapi juga studi kasus yang kaya tentang bagaimana membangun dan mempertahankan pengaruh yang positif dan berkelanjutan melalui pelayanan yang otentik, penuh kasih, dan berintegritas.

      • Tafsiran Surat 1 Tesalonika dengan fokus khusus pada konteks kepemimpinan Rasul Paulus.

      Surat 1 Tesalonika adalah dokumen pastoral yang sangat personal dan memberikan gambaran yang jelas dan powerful tentang esensi kepemimpinan Kristen menurut teladan Paulus. Kepemimpinan Paulus di sini bukan tentang kekuasaan atau hierarki, tetapi tentang pelayanan, relasi, dan keteladanan.

      1. Latar Belakang Kontekstual: Fondasi untuk Memahami Kepemimpinan Paulus.

      Sebelum menafsir, penting memahami situasi yang melatarbelakangi surat ini:

      1. Pendirian Jemaat – Paulus, Silas, dan Timotius mendirikan jemaat di Tesalonika selama perjalanan misi kedua (KPR 17:1-9). Pelayanan mereka singkat (mungkin sekitar 3 minggu) karena diusir oleh orang-orang Yahudi yang iri.
        • Jemaat Baru – Jemaat ini terdiri terutama dari orang-orang non-Yahudi (Gentile) yang baru saja bertobat dari penyembahan berhala. Mereka adalah “bayi” dalam iman (1 Tes. 2:7).Penganiayaan – Sejak awal, jemaat ini langsung mengalami penganiayaan karena iman mereka (1 Tes. 1:6; 2:14; 3:3-4).
        • Kekhawatiran Paulus – Dipaksa meninggalkan jemaat baru yang sedang terluka, Paulus sangat khawatir akan keadaan mereka. Ia mengutus Timotius untuk mengecek kondisi mereka (1 Tes. 3:1-5), dan surat ini adalah responsnya setelah mendapat kabar baik dari Timotius.

      Dari konteks inilah, model kepemimpinan Paulus bersinar.

      • Tafsiran Kepemimpinan Paulus dalam 1 Tesalonika

      Kepemimpinan Paulus dapat ditafsirkan melalui beberapa metafora dan prinsip yang ia gunakan untuk menggambarkan dirinya:

      1. Kepemimpinan sebagai Keibuan (1 Tes. 2:7-8) – “Tetapi kami telah berlaku lemah lembut di antara kamu, sama seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anak-anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.”
      • Tafsiran – Ini adalah gambaran kepemimpinan yang sangat tidak biasa di dunia yang didominasi laki-laki. Paulus menolak model otoriter. Sebagai gantinya, ia menggunakan metafora kelemahlembutan, pengasuhan, dan keintiman seorang ibu.
      • Prinsip Kepemimpinan – Pemimpin sejati tidak menjaga jarak, tetapi terlibat secara emosional dan personal. Mereka peduli bukan hanya pada “produktivitas” jemaat, tetapi pada kesejahteraan dan pertumbuhan spiritual mereka. Kepemimpinan adalah soal memberi bukan hanya ajaran, tetapi juga diri sendiri.
      • Kepemimpinan sebagai Kebapaan (1 Tes. 2:11-12) – “Kamu tahu, betapa kami telah memperlakukan kamu seorang demi seorang, seperti seorang bapa terhadap anak-anaknya–kami menasihati kamu, mendorong kamu, dan meminta dengan sangat supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu kepada Kerajaan dan kemuliaan-Nya.”
      • Tafsiran: Setelah metafora ibu, Paulus menggunakan metafora bapa. Jika ibu merawat, maka bapa menasihati, mendorong, dan menantang untuk bertumbuh dan menjadi dewasa.
      • Prinsip Kepemimpinan: Pemimpin yang baik menyeimbangkan antara kasih (mothering) dan tuntutan (fathering). Mereka memberikan penghiburan tetapi juga teguran yang membangun. Tujuannya adalah memampukan orang lain untuk “hidup sesuai dengan kehendak Allah” – menjadi mandiri dan bertanggung jawab dalam iman mereka.
      • Kepemimpinan yang Transparan dan Integritas Tinggi (1 Tesalonika 2:3-6) –“Karena nasihat kami tidak berasal dari kesesatan atau dari nafsu najis dan tidak disampaikan dengan tipu daya. Sebaliknya, … kami tidak mencari pujian dari manusia, baik dari kamu maupun dari orang lain.”
      • Tafsiran –  Paulus menyadari bahwa sebagai pengkhotbah keliling, ia bisa saja dicurigai motifnya (seperti banyak pengkhotbah palsu saat itu). Ia secara terbuka membela integritasnya.
      • Prinsip Kepemimpinan – Otoritas seorang pemimpin Kristen berasal dari kejujuran, kemurnian motivasi, dan ketulusan. Mereka melayani untuk kemuliaan Allah, bukan untuk keuntungan pribadi, pujian, atau status. Transparansi membangun kepercayaan (trust), yang adalah mata uang utama kepemimpinan.
      • Kepemimpinan yang Melayani dan Bekerja Keras (1 Tesalonika 2:9; 4:11-12) – “Saudara-saudara, kami ingat akan usaha dan jerih payah kami. Siang malam kami bekerja supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu, sementara kami memberitakan Injil Allah kepada kamu.”
      • Tafsiran – Paulus adalah seorang pembuat tenda (KPR 18:3). Ia tidak memanfaatkan jemaat untuk keuntungan finansialnya. Ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
      • Prinsip Kepemimpinan – Pemimpin sejati tidak memanfaatkan posisinya untuk kemudahan hidup. Mereka memimpin dengan memberi contoh dalam hal kerja keras, kemandirian, dan tanggung jawab. Ini menghilangkan segala tuduhan bahwa motivasi mereka adalah materi dan memberikan contoh praktis tentang hidup yang “tenang dan melakukan pekerjaan sendiri” (1 Tes. 4:11).
      • Kepemimpinan yang Peduli dan Memberdayakan (1 Tes. 3:1-5, 10). “Karena itu, ketika kami tidak tahan lagi, kami mengambil keputusan untuk tinggal seorang diri di Atena, dan kami mengutus Timotius… untuk meneguhkan dan menguatkan hatimu dalam imanmu… Karena pada malam hari siang hari kami berdoa sangatsupaya kami dapat melihat kamu lagi dan melengkapi apa yang masih kurang pada imanmu.”
      • Tafsiran –  Meskipun jauh, perhatian Paulus tertuju pada jemaat Tesalonika. Kekhawatirannya bukan pada kegagalan proyek, tetapi pada ketahanan iman orang-orang yang ia kasihi. Ia mengutus rekan sepelayanannya (memberdayakan Timotius) untuk melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan sendiri.
      • Prinsip Kepemimpinan – Pemimpin yang baik memprioritaskan kesejahteraan pengikutnya. Mereka proaktif dalam memberikan dukungan dan penguatan. Mereka juga tahu kapan harus mendelegasikan tugas kepada orang lain yang kompeten untuk kebaikan bersama.

      Kesimpulan:

      Model Kepemimpinan Relasional-Berdasarkan Keteladanan. Dalam konteks 1 Tesalonika, Rasul Paulus mempraktikkan dan mengajarkan sebuah model kepemimpinan yang:

      1. Berpusat pada Pengikut (People-Centered) Fokusnya adalah pertumbuhan dan ketahanan spiritual jemaat, bukan kejayaan pribadi sang pemimpin.
        1. Relasional dan Personal – Dibangun di atas fondasi kasih, kepercayaan, dan keintiman, seperti hubungan dalam keluarga.
        1. Etis dan Transparan –  Motivasinya murni, integritasnya terjaga, dan hidupnya dapat menjadi contoh (1 Tes. 1:5-6).
        1. Melayani dan Rendah Hati – Pemimpin adalah hamba yang bekerja keras dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
        1. Memberdayakan – Tujuannya adalah membuat jemaat menjadi dewasa dan mandiri dalam iman mereka, sehingga tidak bergantung selamanya pada sang pemimpin.

      Surat 1 Tesalonika, oleh karena itu, bukan hanya dokumen teologis tentang kedatangan Kristus yang kedua kali, tetapi juga manual kepemimpinan Kristen yang abadi. Paulus menunjukkan bahwa otoritas sejati dalam Kerajaan Allah tidak diperoleh dari jabatan atau paksaan, tetapi dari pelayanan, pengorbanan, dan keteladanan yang dilandasi kasih.

      SURAT KOLOSE

      SURAT 2 TESALONIKA