47. Surat 2 KORINTUS

1. Penulis

    Surat 2 Korintus ditulis oleh Rasul Paulus, yang mengidentifikasi dirinya sebagai penulis bersama dengan Timotius (2 Kor. 1:1). Paulus, seorang rasul utama dalam Kekristenan awal, menulis surat ini sebagai tindak lanjut dari hubungannya dengan jemaat Korintus setelah Surat 1 Korintus dan kemungkinan surat lain yang kini hilang (disebut sebagai “surat yang menyedihkan” dalam 2 Kor. 2:3-4). Timotius, sebagai rekan pelayanan Paulus, kemungkinan bertindak sebagai pendamping atau sekretaris, sebagaimana ia juga disebutkan dalam surat-surat lain seperti Filipi dan Kolose.

    2. Waktu dan Tempat Penulisan

    Surat 2 Korintus diperkirakan ditulis sekitar tahun 55-56 Masehi, beberapa bulan hingga setahun setelah Surat 1 Korintus, selama perjalanan misionaris ketiga Paulus. Surat ini kemungkinan besar ditulis di Makedonia, mungkin di kota seperti Filipi, Tesalonika, atau Berea, setelah Paulus meninggalkan Efesus (2 Kor. 2:12-13; 7:5). Dalam surat ini, Paulus menyebutkan bahwa ia sedang menunggu kabar dari Titus tentang respons jemaat Korintus terhadap surat sebelumnya (2 Kor. 7:6-7). Waktu penulisan ini mencerminkan periode ketika Paulus sedang menangani ketegangan dalam hubungannya dengan jemaat Korintus, yang dipengaruhi oleh tantangan internal dan eksternal.

    3. Tujuan Penulisan

    Surat 2 Korintus memiliki karakter yang lebih pribadi dan emosional dibandingkan 1 Korintus, mencerminkan dinamika hubungan Paulus dengan jemaat Korintus yang penuh tantangan. Jemaat Korintus menghadapi pengaruh “rasul-rasul palsu” (2 Kor. 11:13-15) dan keraguan terhadap otoritas apostolik Paulus. Tujuan utama penulisan surat ini adalah sebagai berikut:

    a. Mempertahankan Otoritas Apostolik Paulus

      Paulus menghadapi tantangan dari oknum-oknum yang meragukan panggilannya sebagai rasul, menyebut mereka sebagai “rasul-rasul palsu” yang membanggakan diri secara duniawi (2 Kor. 11:5-15). Ia menegaskan otoritasnya bukan berdasarkan kehebatan duniawi, melainkan pada panggilan ilahi dan penderitaannya demi Injil (2 Kor. 12:12).

      b. Mendorong Rekonsiliasi dan Pemulihan Hubungan

      Setelah surat sebelumnya yang tegas (kemungkinan “surat yang menyedihkan”), Paulus berusaha memulihkan hubungan dengan jemaat Korintus. Ia menyatakan sukacitanya atas pertobatan mereka setelah menerima teguran (2 Kor. 7:8-13) dan mengungkapkan kasihnya sebagai “bapa rohani” (2 Kor. 6:11-13). Surat ini bertujuan untuk memperkuat ikatan rohani dan menyelesaikan ketegangan.

      c. Menangani Masalah Pengumpulan Dana untuk Orang Miskin

      Paulus mendorong jemaat Korintus untuk menyelesaikan pengumpulan dana bagi orang-orang miskin di Yerusalem (2 Kor. 8-9). Ia memuji kemurahan hati jemaat Makedonia sebagai teladan dan mengajak Korintus untuk menunjukkan kasih mereka melalui kemurahan hati yang tulus, bukan karena tekanan (2 Kor. 9:7).

      d. Mengatasi Pengaruh Guru-Guru Palsu

      Jemaat Korintus dipengaruhi oleh guru-guru yang membanggakan kemampuan orasi dan karisma duniawi. Paulus menegaskan bahwa pelayanannya didasarkan pada kebenaran Injil dan kuasa Roh Kudus, bukan pada kehebatan pribadi (2 Korintus 10:3-6). Ia menggunakan nada sarkastik dalam pasal 10-12 untuk menyingkap kesombongan para penantangnya.

      e. Memperkuat Iman dan Kedewasaan Rohani

      Paulus mengajak jemaat untuk hidup dalam kekudusan dan menjauhkan diri dari pengaruh duniawi yang korup (2 Kor. 6:14-7:1). Ia juga menekankan pentingnya kelemahan manusia sebagai wadah kuasa Allah (2 Korintus 12:9-10), mengajarkan bahwa kekuatan sejati datang dari ketergantungan pada Tuhan.

      f. Mempersiapkan Kunjungan Paulus

      Paulus merencanakan kunjungan ketiga ke Korintus (2 Korintus 12:14; 13:1-2) dan memperingatkan bahwa ia akan bertindak tegas terhadap dosa yang masih ada jika diperlukan. Namun, tujuannya adalah membangun, bukan menghancurkan (2 Korintus 13:10).

      Konteks dan Relevansi

      Surat 2 Korintus ditulis dalam konteks jemaat yang berada di kota kosmopolitan Korintus, yang penuh dengan tantangan budaya, moral, dan rohani. Surat ini mencerminkan perjuangan Paulus untuk menjaga integritas pelayanannya di tengah kritik dan persaingan. Tema-tema seperti kelemahan yang menjadi kuat melalui kuasa Allah, pentingnya kemurahan hati, dan panggilan untuk hidup kudus tetap relevan bagi gereja masa kini. Surat ini juga menunjukkan sisi kemanusiaan Paulus—emosional, rentan, namun penuh kasih—sebagai teladan kepemimpinan yang otentik.

      Kesimpulan

      Surat 2 Korintus, ditulis oleh Paulus dari Makedonia sekitar tahun 55-56 M, bertujuan untuk mempertahankan otoritas apostoliknya, memulihkan hubungan dengan jemaat Korintus, mendorong kemurahan hati, dan menangani pengaruh guru-guru palsu. Dengan nada yang penuh kasih namun tegas, Paulus menunjukkan model kepemimpinan Kristen yang berpusat pada Injil, kerendahan hati, dan ketergantungan pada kuasa Allah, menjadikan surat ini sebagai sumber pengajaran yang kaya bagi gereja di segala zaman.

      Prinsip-prinsip Kepemimpinan Rohani dalam Surat 2 Korintus

      Jika 1 Korintus menunjukkan prinsip-prinsip kepemimpinan Paulus, maka 2 Korintus adalah pembelaan (apologi) dan penerapan praktis yang paling personal dan mendalam dari prinsip-prinsip tersebut di tengah tantangan dan penderitaan. Surat 2 Korintus ditulis dalam situasi yang sangat genting. Hubungan Paulus dengan jemaat Korintus memburuk setelah suratnya yang pertama. Beberapa hal yang terjadi:

      Datangnya Guru-Guru Palsu – Sejumlah “rasul super” (2 Kor. 11:5) atau “pemberita-pemberita palsu” (11:13) telah datang ke Korintus. Mereka menyerang kredibilitas Paulus, menyatakan bahwa ia bukan rasul sejati, pidatonya tidak bagus, penampilannya tidak menarik, dan ia tidak layak menerima dukungan finansial.

      • Teguran Paulus Ditolak – Seorang anggota jemaat mungkin menentang Paulus secara terbuka (2:5-11), dan jemaat tidak melakukan apa-apa, membuat Paulus merasa terluka dan perlu menegur mereka.
      • Surat yang “Penuh Dukacita” – Paulus sebelumnya menulis sebuah surat yang keras (yang sekarang hilang) yang membuatnya cemas akan respons jemaat (2:3-4).

        Dalam konteks inilah, 2 Korintus menjadi sebuah surat yang sangat personal, emosional, dan rapuh, di mana Paulus membuka hati dan gaya kepemimpinannya untuk dilihat semua orang.

          a. Kepemimpinan yang Diurapi oleh Allah dan Membawa Perjanjian Baru

            • 2 Korintus 3:5-6 – “Bukan diri kami yang berkecukupan menurut pikiran kami, sehingga kami dapat memperhitungkan sesuatu seolah-olah itu berasal dari diri kami sendiri, tetapi kecukupan kami berasal dari Allah. Ialah yang membuat kami juga sanggup menjadi pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”
            • Tafsiran Kepemimpinan – Paulus menegaskan kembali bahwa kapasitas kepemimpinannya 100% bergantung pada anugerah Allah (“kecukupan kami berasal dari Allah”). Ini adalah tanggapan terhadap tuduhan bahwa ia tidak kompeten. Ia justru mengalihkan fokus dari “kompetensi duniawi” (seperti retorika yang indah) kepada kompetensi spiritual: menjadi pelayan (hamba) dari Perjanjian Baru yang membawa kehidupan melalui Roh. Otoritasnya berasal dari pelayanannya yang membawa hidup, bukan dari surat rekomendasi atau pidato yang memukau.

            b. Kepemimpinan yang Memiliki Integritas dan Transparansi

            • 2 Korintus 1:12 – “Sebab yang merupakan kemegahan kami adalah ini: yaitu kesaksian hati nurani kami, bahwa dalam dunia ini, dan lebih-lebih terhadap kamu, kami telah berlaku dalam kekudusan dan ketulusan yang berasal dari Allah, bukan dengan hikmat dunia, tetapi dengan kasih karunia Allah.”
            • 2 Korintus 4:2 –  “Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran itu dengan tulus hati dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.”
            • Tafsiran Kepemimpinan – Di tengah tuduhan ketidakjujuran, Paulus membela diri dengan kesaksian hati nurani yang bersih. Kepemimpinannya dibangun di atas integritas, transparansi, dan penolakan terhadap manipulasi. Ia tidak “memalsukan firman Allah” (menyampaikannya dengan cara yang curang untuk keuntungan pribadi). Ini adalah model kepemimpinan yang terbuka untuk diperiksa (“dipertimbangkan oleh semua orang”).

            c. Kepemimpinan yang Menemukan Kekuatan justru dalam Kelemahan

            • 2 Korintus 12:7-10 – (Tentang “duri dalam daging”)… “Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’Karena itu aku senang dan bermegah dalam kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.”
            • Tafsiran Kepemimpinan – Ini adalah puncak dari pembelaan Paulus dan mungkin adalah kontribusi terbesarnya bagi teologi kepemimpinan Kristen. Para penentangnya memandang kelemahan (penyakit, penderitaan, penolakan) sebagai tanda kutukan atau ketiadaan anugerah Allah. Paulus membalikkan logika duniawi ini. Justru dalam kelemahanlah, kuasa Kristus dapat dinyatakan dengan paling sempurna. Seorang pemimpin Kristen tidak perlu berpura-pura kuat dan sempurna. Dengan jujur mengakui kelemahan dan bergantung sepenuhnya pada kasih karunia Allah, ia menjadi bejana yang tepat untuk kemuliaan Allah.

              d. Kepemimpinan yang Melayani dengan Motivasi yang Murni

              • 2 Korintus 2:17 – “Karena kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara dengan jujur, seperti orang yang diutus oleh Allah, dan di hadapan-Nya, di dalam Kristus.”
              • 2 Korintus 11:7-9 – Paulus menjelaskan bagaimana ia menolak menerima dukungan finansial dari jemaat Korintus agar tidak membebani mereka dan agar tidak dicurigai motifnya.
              • Tafsiran Kepemimpinan – Paulus dengan tegas membedakan dirinya dari para pengkhotbah palsu yang mencari uang dan keuntungan pribadi. Motivasinya murni: melayani, bukan memanfaatkan. Keputusannya untuk membiayai diri sendiri (sebagai pembuat tenda) adalah bentuk pelayanan dan pengorbanan yang radikal, menunjukkan bahwa Injil adalah hadiah gratis, bukan komoditas yang dijual.

                e. Kepemimpinan yang Dipenuhi dengan Kelembutan dan Kasih Bapa

                • Korintus 1:23-24; 2:4 –  “Aku berseru kepada Allah sebagai saksiku, bahwa inilah sebabnya aku tidak lagi datang ke Korintus, yaitu untuk menghemat kamu. … Sebab di dalam banyak dukacita dan dengan hati yang sedih, sambil mencucurkan banyak air mata, aku menulis surat itu kepada kamu, bukan supaya kamu bersedih hati, melainkan supaya kamu mengetahui betapa besarnya kasihku kepada kamu.”
                • Tafsiran Kepemimpinan – Surat ini memperlihatkan sisi emosional dan kelembutan Paulus. Ia bukanlah pemimpin yang keras dan tanpa perasaan. Keputusan-keputusannya (seperti menunda kunjungan) didorong oleh keinginan untuk melindungi jemaat, bukan menghindari masalah. Ia memimpin dengan hati seorang bapa yang mencintai anak-anaknya, bahkan sampai menangis untuk mereka.

                  f. Kepemimpinan yang Berfokus pada Rekonsiliasi, Bukan Pembalasan

                  • 2 Korintus 2:5-11 –  Setelah orang yang menentangnya dihukum oleh jemaat, Paulus justru mendorong jemaat untuk mengampuni dan menghiburnya agar orang itu tidak “ditenggelamkan oleh dukacita yang berlebihan”.
                  • Tafsiran Kepemimpinan – Tujuan utama dari disiplin dan teguran dalam kepemimpinan Paulus bukanlah menghukum atau menunjukkan siapa yang berkuasa, tetapi pemulihan (restorasi). Ia menunjukkan hati seorang gembala yang ingin menyelamatkan domba yang tersesat, bukan membuangnya. Ini adalah kepemimpinan yang mempraktikkan pengampunan.

                    g. Kepemimpinan yang Bermegah dalam Pelayanan, Bukan dalam Prestasi

                    • 2 Korintus 10:12-18 – Paulus menolak untuk membandingkan diri atau “bermegah” dalam hasil pekerjaan orang lain. “Tetapi barang siapa bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” (10:17)
                    • Tafsiran Kepemimpinan – Paulus menolak permainan “benchmarking” duniawi yang dilakukan para rasul palsu. Ukuran keberhasilannya bukanlah perbandingan dengan orang lain atau klaim atas wilayah pelayanan orang lain, tetapi apakah ia tetap setia pada panggilan yang Tuhan berikan khusus kepadanya. Kepemimpinan sejati bermegah hanya karena Tuhan yang bekerja melalui dirinya.

                    Kesimpulan:

                    Model Kepemimpinan yang Paradoks dan Berkuasa dalam Kelemahan. Surat 2 Korintus memberikan kita gambaran yang paling mendalam tentang jiwa seorang pemimpin Kristen. Paulus membela dirinya bukan dengan menyombongkan kekuatannya, tetapi justru dengan memamerkan kelemahannya, penderitaannya, dan ketergantungan mutlaknya pada Kristus.

                    Kepemimpinan model Paulus adalah:

                    1. Bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pelayanan.
                    2. Bukan tentang kekuatan diri, tetapi tentang kuasa Kristus dalam kelemahan.
                    3. Bukan tentang popularitas, tetapi tentang integritas.
                    4. Bukan tentang kekayaan, tetapi tentang kemurahan hati.
                    5. Bukan tentang menghukum, tetapi tentang rekonsiliasi.
                    6. Bukan tentang membandingkan diri, tetapi tentang kesetiaan pada panggilan sendiri.

                    Surat ini menjadi manual yang sangat berharga bagi setiap pemimpin Kristen yang pernah merasa tidak layak, dikritik, lemah, atau lelah. Paulus menunjukkan bahwa justru di titik terendah itulah, kemuliaan Kristus bersinar paling terang.

                    SURAT 1 KORINTUS

                    SURAT GALATIA