
1. Penulis
Surat 1 Korintus ditulis oleh Rasul Paulus, yang dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam penyebaran Kekristenan awal. Paulus, sebelumnya dikenal sebagai Saulus, adalah seorang Farisi yang bertobat setelah bertemu dengan Yesus dalam penglihatan di jalan menuju Damsyik (KPR 9:1-19). Dalam surat ini, Paulus menyebut dirinya sebagai penulis bersama dengan Sostenes (1 Kor. 1:1), yang kemungkinan adalah seorang pemimpin sinagoge di Korintus yang bertobat (KPR 18:17) dan mungkin bertindak sebagai sekretaris atau rekan Paulus.
2. Waktu dan Tempat Penulisan
Surat 1 Korintus diperkirakan ditulis sekitar tahun 53-55 Masehi, selama perjalanan misionaris ketiga Paulus. Surat ini kemungkinan besar ditulis di Efesus, tempat Paulus tinggal untuk waktu yang cukup lama selama pelayanannya (KPR 19:1-10). Dalam 1 Korintus 16:8, Paulus menyebutkan bahwa ia akan tinggal di Efesus sampai hari Pentakosta, yang mendukung anggapan bahwa surat ini ditulis dari sana. Waktu penulisan ini menempatkan surat ini dalam konteks Kekristenan awal, ketika gereja-gereja masih baru dan menghadapi berbagai tantangan teologis serta praktis.
3. Tujuan Penulisan
Surat 1 Korintus ditulis untuk menangani berbagai masalah yang dihadapi jemaat di Korintus, sebuah kota pelabuhan yang kaya dan kosmopolitan di Yunani, yang dikenal dengan keragaman budaya, kemakmuran, dan tantangan moral. Paulus menulis surat ini sebagai respons terhadap laporan tentang masalah dalam jemaat (1 Kor. 1:11) dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh jemaat Korintus melalui surat atau utusan (1 Kor. 7:1). Berikut adalah tujuan utama penulisan surat ini:
a. Menyelesaikan Perpecahan dalam Jemaat
Jemaat Korintus terpecah belah karena kesetiaan kepada pemimpin yang berbeda, seperti Paulus, Apolos, atau Kefas (1 Kor. 1:10-17). Paulus menegaskan pentingnya kesatuan dalam tubuh Kristus dan menegur mereka agar fokus pada Kristus sebagai pusat iman, bukan pada tokoh manusia.
b. Menangani Masalah Moral dan Etika
Paulus menanggapi isu-isu moral yang serius, seperti kasus percabulan di antara jemaat (1 Korintus 5:1-13) dan penyembahan berhala (1 Korintus 10:14-22). Ia menyerukan standar hidup yang kudus sesuai dengan panggilan Kristen.
c. Memberikan Pengajaran tentang Doktrin dan Praktik
Surat ini membahas berbagai topik teologis dan praktis, seperti perkawinan (pasal 7), kebebasan Kristen (pasal 8-10), perjamuan kudus (pasal 11), karunia rohani (pasal 12-14), dan kebangkitan (pasal 15). Paulus memberikan panduan yang jelas untuk membantu jemaat memahami dan menerapkan iman mereka dengan benar.
d. Mendorong Kedewasaan Rohani
Paulus mengajak jemaat Korintus untuk meninggalkan sifat duniawi dan bertumbuh dalam kedewasaan rohani (1 Kor. 3:1-3). Ia menekankan pentingnya kasih sebagai dasar dari semua tindakan dan pelayanan (1 Kor. 13).
e. Menangani Pertanyaan Praktis Jemaat
Jemaat Korintus mengajukan pertanyaan tentang isu-isu seperti perkawinan, makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dan tata cara ibadah. Paulus memberikan jawaban yang seimbang, menggabungkan kebebasan Kristen dengan tanggung jawab untuk tidak menimbulkan sandungan bagi orang lain.
f. Mengatur Pengumpulan Dana untuk Orang Miskin
Paulus juga menginstruksikan jemaat untuk mengumpulkan dana bagi orang-orang miskin di Yerusalem (1 Korintus 16:1-4), menunjukkan kepeduliannya terhadap solidaritas dalam gereja secara keseluruhan.
Konteks dan Relevansi
Surat 1 Korintus ditulis untuk sebuah jemaat yang hidup di tengah budaya yang penuh tantangan, dengan godaan materialisme, amoralitas, dan keberagaman agama. Paulus menggunakan otoritasnya sebagai rasul untuk membimbing jemaat agar tetap setia pada ajaran Kristus sambil menangani masalah praktis dengan bijaksana. Surat ini relevan hingga saat ini karena membahas isu-isu universal seperti konflik dalam gereja, moralitas, dan pentingnya kasih serta kesatuan dalam komunitas Kristen.
Prinsip-prinsip Kepemimpinan Rohani dalam Surat 1 Korintus
Sebelum menafsir, penting memahami konteksnya. Jemaat Korintus adalah jemaat yang muda, dinamis, tetapi juga bermasalah parah. Mereka hidup dalam kota metropolitan Yunani yang penuh dengan filosofi, penyembahan berhala, dan kehidupan sosial yang longgar. Jemaat ini terpecah-pecah menjadi beberapa kubu (“Aku dari golongan Paulus,” “Aku dari golongan Apolos,” dll.) dan mempertanyakan wibawa serta gaya kepemimpinan Paulus.
Dalam situasi inilah Paulus menulis. Surat 1 Korintus bukan hanya doktrin, tetapi juga sebuah demonstrasi praktis kepemimpinan rohani yang otentik, penuh kuasa, namun rendah hati.
1. Otoritas yang Berasal dari Panggilan Ilahi, Bukan Keinginan Diri Sendiri
- 1 Korintus 1:1 – “Dari Paulus, yang oleh kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus…”
- Tafsiran Kepemimpinan – Paulus membuka surat dengan menegaskan dasar otoritasnya. Itu bukan dari latar belakangnya, pendidikan, atau kemauannya sendiri, tetapi **dari panggilan dan kehendak Allah**. Seorang pemimpin sejati memahami bahwa otoritasnya adalah amanah (stewardship) dari Tuhan, bukan untuk diagungkan, tetapi untuk melayani tujuan Sang Pemberi Amanah.
2. Kepemimpinan yang Memuliakan Kristus, Bukan Diri Sendiri
- 1 Korintus 1:12-13; 3:5-7 – Menanggapi perpecahan karena favoritisme pada pemimpin, Paulus berkata, “Apakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” dan “Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan yang membuat kamu menjadi percaya.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Ini adalah pukulan telak terhadap kultus individu. Paulus menolak untuk menjadi “idol” atau pusat perhatian. Kepemimpinannya bersifat kristosentris. Ia dengan rendah hati menempatkan dirinya hanya sebagai “rekan kerja” Allah (3:9) dan “pelayan” (hamba) yang tugasnya menanam dan menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Pemimpin sejati mengurangi diri agar Kristus yang bertambah.
3. Kepemimpinan yang Berani Menegur dengan Kasih dan Kejelasan
Seluruh surat, khususnya pasal 5 (soal percabulan), pasal 6 (soal gugat-menggugat), dan pasal 11 (soal penyalahgunaan Perjamuan Kudus).
- Tafsiran Kepemimpinan – Paulus tidak takut untuk menghadapi dosa dan kesalahan jemaat. Namun, tegurannya bukan berasal dari kemarahan yang egois, tetapi dari kasih seorang bapa (4:14-15) yang peduli dengan kemurnian dan kesejahteraan rohani anak-anaknya. Kepemimpinan yang alkitabiah bukan kepemimpinan yang lunak terhadap dosa, tetapi juga bukan yang keras tanpa kasih. Itu adalah keseimbangan antara kebenaran dan kasih karunia.
4. Kepemimpinan yang Relasional dan Penuh Kelembutan
- 1 Korintus 4:14-15 – “Bukan untuk memalukan kamulah aku menulis semuanya ini, tetapi untuk menegur kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Di balik teguran keras, Paulus menunjukkan hati seorang bapa. Ia tidak menjaga jarak secara birokratis. Ia terlibat secara relasional dan emosional. Gaya kepemimpinannya keibuan dan kebapaan (bdk. 1 Tes. 2:7-8, 11). Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan rohani yang efektif dibangun di atas fondasi hubungan yang tulus dan peduli.
5. Kepemimpinan yang Menjadi Teladan (Modeling)
- 1 Korintus 4:16; 11:1 – “Sebab itu aku menasihati kamu: turutilah teladanku!” dan “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Paulus berani meminta jemaat untuk meneladaninya karena hidupnya transparan dan konsisten. Kepemimpinan bukan hanya soal memberi perintah tetapi soal memberi contoh. Ia memimpin bukan dari menara gading, tetapi dari garis depan, dengan menunjukkan bagaimana hidup yang sesuai dengan Injil. Seorang pemimpin harus bisa berkata, “Ikutlah cara hidupku seperti aku mengikut Kristus.”
6. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)
- 1 Korintus 9:19-23 – “Sebab sekalipun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Di sini Paulus merangkum filosofi kepemimpinannya: kebebasan untuk melayani. Ia rela melepaskan hak-haknya (seperti hak untuk menerima nafkah dari jemaat, pasal 9) untuk menjadi tidak bercela dan lebih efektif dalam pelayanannya. Kepemimpinan Kristen adalah tentang pelayanan (service), bukan tentang status. Tujuannya adalah memenangkan dan membangun orang lain, bukan memuaskan diri sendiri.
7. Kepemimpinan yang Dibangun di atas Kasih (Agape)
- 1 Korintus 13:1-13 – Pasal tentang kasih yang terkenal ini berada di tengah pembahasan tentang karunia rohani (pasal 12 & 14).
- Tafsiran Kepemimpinan – Paulus secara implisit mengatakan bahwa semua karunia, talenta, dan pencapaian kepemimpinan sama sekali tidak ada artinya tanpa kasih. Seorang pemimpin bisa sangat pintar, berkarunia, beriman, dan bahkan rela berkorban, tetapi jika tidak dilandasi oleh kasih agape (kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, sabar, dan baik hati), maka ia bukanlah apa-apa. Ini adalah fondasi utama dari semua model kepemimpinan Kristen.
Kesimpulan:
Dari surat ini, kita melihat sebuah model kepemimpinan yang paradoks dan kuat:
- Otoritatif namun Rendah Hati – Otoritasnya berasal dari Allah, sehingga ia tidak perlu meninggikan diri sendiri.
- Berani namun Penuh Kasih – Berani menegur dosa, tetapi didorong oleh kasih seperti seorang bapa.Visioner namun Praktis – Membahas doktrin kebangkitan (pasal 15) tetapi juga tata cara ibadah dan kehidupan sehari-hari.Melayani namun menjadi Teladan – Menjadi hamba untuk semua orang, tetapi hidupnya layak untuk diteladani.
- Berkarunia namun Berpusat pada Kasih – Karunia dan talenta adalah alat, tetapi kasih adalah motivasi dan tujuan utama.
Paulus memimpin bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan mempersembahkan jemaat kepada Kristus sebagai mempelai yang kudus dan tidak bercela. Kepemimpinannya adalah cerminan dari kepemimpinan Kristus sendiri—sang Gembala yang baik yang menyerahkan nyawa bagi domba-domba-Nya.