
1. Penulis
Surat Filemon ditulis oleh Rasul Paulus, sebagaimana dinyatakan pada ayat pembuka (Flm. 1:1), di mana Paulus menyebut dirinya sebagai “Paulus, seorang tahanan karena Kristus Yesus.” Dalam tradisi Kristen, Paulus diterima secara luas sebagai penulis surat ini, meskipun beberapa sarjana modern mempertanyakan kepenulisan Paulus atas beberapa surat lainnya. Namun, untuk Surat Filemon, konsensus umum mendukung Paulus sebagai penulisnya berdasarkan gaya penulisan, isi teologis, dan konteks historis.
2. Waktu dan Tempat Penulisan
Surat Filemon kemungkinan besar ditulis sekitar tahun 60-62 Masehi, selama masa tahanan Paulus, yang disebutkan dalam Filemon 1:1 dan 1:9. Berdasarkan konteks sejarah, banyak sarjana berpendapat bahwa Paulus menulis surat ini selama ia ditahan di Roma (sekitar 60-62 M), sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 28:30-31. Namun, ada pula kemungkinan bahwa surat ini ditulis selama tahanan Paulus di Efesus atau Kaisarea, meskipun Roma adalah lokasi yang paling diterima secara umum karena referensi dalam surat-surat lain (misalnya, Kolose dan Efesus) yang ditulis pada periode yang sama. Dalam Filemon 10, Paulus menyebutkan bahwa ia menulis “dalam rantai,” yang mengindikasikan kondisi tahanan.
3. Tujuan Penulisan Surat
Surat Filemon adalah surat pribadi yang ditujukan kepada Filemon, seorang Kristen kaya yang kemungkinan besar tinggal di Kolose (berdasarkan kaitan dengan Surat Kolose, misalnya Kol. 4:9). Tujuan utama surat ini adalah untuk memohon kepada Filemon agar menerima kembali Onesimus, seorang budak yang melarikan diri dari Filemon dan kemudian menjadi Kristen melalui pelayanan Paulus (Flm. 1:10). Paulus meminta Filemon untuk mengampuni Onesimus dan memperlakukannya bukan lagi sebagai budak, melainkan sebagai “saudara yang kekasih” dalam iman (Flm. 1:16).
Secara lebih rinci, tujuan penulisan surat ini meliputi:
- Rekonsiliasi – Paulus ingin mendamaikan hubungan antara Filemon dan Onesimus, yang mungkin telah tegang karena Onesimus melarikan diri, suatu tindakan yang dalam budaya Romawi kala itu bisa dihukum berat.
- Penerapan Kasih Kristen – Paulus menekankan nilai-nilai kasih, pengampunan, dan persaudaraan dalam iman, mengajak Filemon untuk menunjukkan kasih Kristiani dalam hubungannya dengan Onesimus.
- Pembebasan Onesimus – Meskipun Paulus tidak secara eksplisit meminta Filemon untuk membebaskan Onesimus dari perbudakan, nada surat ini (terutama ayat 16 dan 21) mengisyaratkan harapan Paulus agar Onesimus diperlakukan sebagai saudara, yang bisa diartikan sebagai ajakan untuk pembebasan atau setidaknya perubahan status.
- Contoh Praktis Iman Kristen – Surat ini menunjukkan bagaimana iman Kristen diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sosial yang penuh ketegangan seperti perbudakan pada masa itu.
Konteks dan Signifikansi
Surat Filemon adalah salah satu surat terpendek dalam Perjanjian Baru, hanya terdiri dari 25 ayat, tetapi memiliki dampak teologis yang signifikan. Surat ini mencerminkan bagaimana iman Kristen dapat mengubah hubungan sosial yang hierarkis, seperti antara tuan dan budak, menjadi hubungan yang didasarkan pada kasih dan kesetiaan dalam Kristus. Paulus menggunakan pendekatan yang penuh kasih, hormat, dan diplomatis, tanpa memerintah Filemon secara langsung, tetapi mengajaknya untuk bertindak berdasarkan iman dan kasih (Flm. 1:8-9).
Surat Filemon, yang ditulis oleh Paulus sekitar tahun 60-62 M di Roma (kemungkinan besar), adalah surat pribadi yang penuh dengan kepekaan pastoral dan teologi praktis. Tujuannya adalah untuk mendamaikan Filemon dengan Onesimus, mendorong pengampunan, dan menunjukkan bagaimana iman Kristen mengubah hubungan sosial. Surat ini tetap relevan hingga kini sebagai contoh bagaimana kasih dan pengampunan dapat mengatasi konflik interpersonal dan ketidakadilan sosial.
Prinsip-prinsip Kepemimpinan Rohani dalam Surat Filemon
Kepemimpinan Paulus di sini dapat dilihat dari beberapa dimensi:
a. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)
Paulus, sebagai seorang rasul yang memiliki otoritas tertinggi, tidak memerintah Filemon. Sebaliknya, ia memilih untuk melayani semua pihak yang terlibat.
- Ayat 8-9 – “Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk menitahkan engkau melakukan apa yang ought dilakukan, namun mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintamu.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Paulus dengan sadar melepaskan haknya untuk memerintah. Ia memilih untuk “meminta” dan “mengimbau” berdasarkan kasih. Seorang pemimpin sejati tahu kapan harus menggunakan otoritas dan kapan harus merendahkan hati untuk meminta. Ini adalah esensi dari kepemimpinan Yesus yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
b. Kepemimpinan yang Relasional dan Penuh Empati
Paulus memahami sepenuhnya dinamika hubungan antara Filemon dan Onesimus. Dia tidak mengabaikan rasa sakit atau kerugian Filemon, juga tidak mengabaikan ketakutan Onesimus.
- Ayat 10-11, 18 – Paulus menyebut Onesimus sebagai “anakku, yang telah kuperanakkan dalam penjara”, menunjukkan ikatan bapa-rohani yang dalam. Kepada Filemon, dia berkata, “Jika dia telah merugikan engkau atau berhutang sesuatu, tanggungkanlah itu kepadaku.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Pemimpin yang efektif tidak hidup dalam gelembung. Mereka masuk ke dalam realitas orang yang mereka pimpin, memahami perasaan, keraguan, dan konflik mereka. Paulus menjadi jembatan rekonsiliasi dengan menanggung beban kedua belah pihak. Ini menunjukkan empati yang mendalam dan kesediaan untuk terlibat secara personal.
c. Kepemimpinan yang Visioner dan Transformasional
Paulus tidak hanya menyelesaikan masalah pelariannya seorang budak. Dia melihat peluang untuk mentransformasi hubungan yang rusak ini menjadi sebuah teladan hubungan baru di dalam Kristus.
- Ayat 15-16 – “Boleh jadi karena itulah dia dipisahkan untuk sementara waktu daripadamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih… baik di dalam daging maupun di dalam Tuhan.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Seorang pemimpin visioner melihat melampaui masalah saat ini dan melihat karya Tuhan yang lebih besar. Paulus mentransformasi narasi dari “budak yang melarikan diri” menjadi “saudara yang dikembalikan oleh providensi Allah.” Dia membawa Filemon dan Onesimus kepada visi Kerajaan Allah di mana status sosial duniawi ditelan oleh persaudaraan sejati dalam Kristus.
d. Kepemimpinan yang Memberdayakan dan Mempercayai
Setelah menyampaikan permintaannya, Paulus tidak mengawasi atau memaksa. Dia mempercayai Filemon untuk melakukan yang benar.
- Ayat 21 – “Aku yakin akan ketaatanmu, kuketahui bahwa engkau akan berbuat lebih dari pada yang kukatakan.”
- Ayat 14 – “Tetapi tanpa persetujuanmu aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, tetapi melainkan dengan sukarela.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Pemimpin yang hebat tidak memicro-manage. Mereka memberikan arahan yang jelas, kemudian memberikan kepercayaan dan ruang bagi pengikutnya untuk merespons dengan iman dan ketaatan mereka sendiri. Dengan berkata “aku yakin engkau akan berbuat lebih,” Paulus memotivasi Filemon untuk melampaui harapan minimum. Ini adalah pemberdayaan yang sangat efektif.
e. Kepemimpinan yang Berintegritas dan Tanggung Jawab
Paulus tidak hanya berbicara; dia berkomitmen untuk menanggung konsekuensi dari permintaannya.
- Ayat 18-19 – “Jika dia telah merugikan engkau… tanggungkanlah itu kepadaku. Aku, Paulus, menjaminnya dengan tulisan tanganku sendiri.”
- Tafsiran Kepemimpinan – Seorang pemimpin sejati tidak meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak ia siap tanggung. Dengan menulis sendiri janji untuk membayar hutang Onesimus (dalam zaman dimana surat biasanya ditulis oleh juru tulis), Paulus menunjukkan integritas dan kesediaannya untuk mengambil tanggung jawab. Ini membangun kepercayaan (trust) yang merupakan fondasi kepemimpinan.
Kesimpulan
Surat Filemon adalah masterclass dalam kepemimpinan Kristen. Rasul Paulus mendemonstrasikan sebuah model kepemimpinan yang:(1) berdasarkan kasih, bukan paksaan; (2) bersifat melayani, bukan mendominasi; (3) melihat visioner, transformatif, dan spiritual; (4)menghargai hubungan dan otonomi orang lain; (5) penuh Integritas dan tanggung jawab.
Dia tidak memimpin dengan dekrit, tetapi dengan diplomasi ilahi yang penuh kasih. Surat ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang alkitabiah bukanlah tentang mengontrol orang lain, tetapi tentang membimbing mereka menuju pemulihan, rekonsiliasi, dan penggenapan rencana Allah dalam hubungan antar manusia.